Travel log. The Lone Traveler’s Journey Part 3 : Muntilan – Jogja – Solo – Jakarta.

Bagian akhir dari perjalanan liburan kami merupakan bagian yang paling kami nantikan. Meski awalnya kami ragu untuk menetap lebih lama dan sempat berkeinginan untuk kembali ke Jakarta lebih awal, namun ternyata kerinduan kami akhirnya menahan kami dan kami mengalami akhir minggu yang menyenangkan.

Terbangun pagi hari di Muntilan dengan udara yang begitu dingin menyebabkan sedikit malas buat kami untuk lekas bangun dan bersiap untuk berangkat menuju kota Solo. Kenapa kembali ke Solo? Ceritanya diawali semenjak beberapa bulan yang lalu ketika saya, Dika dan teman-teman lama kami semasa kuliah yang juga sesama pecinta fotografi memenuhi jajaran box komen di sebuah foto yang dipajang melalui Facebook oleh adik kelas kami. Dan akhirnya kami membuat kesepakatan untuk berkumpul bersama, hunting dan ngobrol bersama di kota Solo di akhir liburan sebelum kembali pada kesibukan masing-masing. Lihat saja obrolan kacau kami di sini.

Pagi itu kami berdua mengira bahwa teman-teman di Solo akan memulai hunting foto sore menjelang malam hari, maka kami berencana untuk berangkat ke kota Solo sekitar jam 10 pagi, itupun akhirnya mundur nyaris jam 11 karena ternyata persiapan kami untuk berangkat cukup merepotkan. Sampai akhirnya menjelang pukul 10 kami dihubungi beberapa teman melalui SMS yang menanyakan keberadaan kami karena mereka telah akan berangkat untuk hunting foto. Ups, sayang sekali, pikirku. Maka kami pun berangkat secepatnya, dengan menggunakan bis menuju Jogja yang akhirnya dilanjutkan dengan TransJogja menuju Stasiun Tugu untuk kemudian menuju Solo dengan kereta Prambanan Ekspress. Sayang sekali jalur yang kami pilih ini ternyata membuang waktu cukup banyak ketimbang jika kita menaiki bis langsung menuju Solo. Apalagi ternyata kereta menuju Solo baru berangkat pukul 1 siang. Maka kami pun akhirnya banyak membuang waktu sambil menunggu kereta di Stasiun Tugu dengan memotret beberapa hal yang menarik.

[Atas kiri: Dika membawa tas ransel gendut saya.
Bawah Kiri & jajaran foto di kanan: Dika sedang mengambil beberapa foto dan beberapa hasil fotonya hari itu]

Pukul 1 lewat kami pun meninggalkan Jogja dengan kereta Prambanan Ekspress dan tiba di Stasiun Purwosari Solo sekitar jam 2 lewat, dan melanjutkan perjalanan dengan bis dalam kota, Surya Kencana, untuk menyusul teman-teman kami yang telah lebih dulu menelusuri kampung-kampung kecil di kawasan sekitar Kraton Kasunanan Surakarta, terutama yaitu Kampung Baluwarti dan Pasar Klewer, dan saat itu sedang beristirahat di Mesjid Agung Kraton.
Ketika kami tiba kami baru saja tahu bahwa adik-adik kelas kami, yang juga tergabung di Klub Fotografi Arsitektur seperti halnya kami dulu, yang semula bergabung untuk hunting foto bersama ternyata telah lebih dahulu pulang, karena mereka telah lebih dulu memulai hunting foto sekeliling kawasan Kraton sejak pukul 6 pagi! (Hebat *tepuk tangan* saya jadi ingat ketika saya masih sebegitu bersemangatnya semasa kuliah dulu *terharu karena bangga*).Berkumpul kembali dengan teman-teman lama memang seru. Baru dalam hitungan menit kami bertemu entah berbagai kebodohan dan kekonyolan telah terjadi, dari obrolan serius sampai obrolan ngaco yang asal muncul hanya karena hal kecil muncul di hadapan kami. Setelah berbincang, bercanda dan berfoto bersama menggunakan Polaroid milik Adit, kami pun berjalan ke Kampung Kauman untuk mencari objek foto.

[Berjalan menuju Mesjid Agung Kraton Surakarta, langit mulai terlihat mendung dan sudah mulai sore]

Kampung Kauman, seperti halnya Kampung Kauman di Yogyakarta, adalah kampung yang terletak di kawasan sekitar Kraton Kasunanan Surakarta dan merupakan kampung yang dilestarikan sebagai kampung wisata karena disana terdapat banyak pengrajin dan pengusaha batik, karena itu di tiap sudut dari kampung ini kita dapat menemukan banyak ragam butik batik dan bahkan kita bisa juga menyaksikan sendiri proses pembuatan batik asli kota Solo ini. Yang menarik dari kampung ini, yaitu karena arsitektur dari rumah-rumah di dalam kampung ini masih sangat tradisional, kebanyakan diantaranya merupakan rumah-rumah tua dengan arsitektur tradisional Jawa atau dengan arsitektur khas pengusaha batik.

[Berjalan-jalan menelusuri Kampung Kauman.
Photo by: Wahyu Adi Pramardika & Dita Wisnuwardani]

[Potret Kampung Kauman Surakarta. Photo by: Dita Wisnuwardani & Wahyu Adi Pramardika]

[Potret Kampung Kauman Surakarta. Photo by: Wahyu Adi Pramardika]


[Kami pun sempat berpose untuk teman-teman, Pre-Wed katanya hehehe.
Photo by: Ade Mart Setiawan, Edit by: Dita Wisnuwardani, Kamera: Canon 350D]

Di kota Solo sendiri terdapat dua kampung serupa, selain Kampung Kauman ada juga Kampung Batik Laweyan yang kawasannya lebih luas daripada Kampung Kauman dan letaknya lebih ke Barat.

[Kampung Laweyan dan Kampung Kauman Solo]

[Beberapa potret yang saya ambil satu tahun yang lalu ketika berada di Kampung Laweyan
Talent: Dimas Wisnuwardono]

Ketika sore hari telah terlewati dan waktu Magrib menjelang maka kami pun bergerak meninggalkan Kampung Kauman dan sepakat untuk mencari makan di Galabo. Galabo atau Gladak Langen Bogan adalah pusat kuliner yang menyajikan beragam makanan khas kota Solo dan sekitarnya yang terletak di Gladak, yaitu di persimpangan arah masuk menuju kawasan Kraton Kasunanan Surakarta, menggunakan sepanjang jalan di antara pusat perbelanjaan Beteng Trade Center dan Pusat Grosir Solo dengan Benteng Vastenburg.

[Berjalan menuju Galabo]

Di Galabo ini kami memutuskan untuk menyantap Sate Kere. Dalam bahasa Jawa, kata Kere itu berarti menggambarkan kondisi “tidak memiliki uang“, dan sesuai namanya maka pada umumnya sate ini dijual dengan harga yang sangat murah dan dengan tampilan yang sangat sederhana, misal biasanya dijual dengan cara digendong di kepala oleh ibu-ibu penjual keliling atau dengan gerobak keliling kampung. Sate Kere ini biasanya terdiri dari daging dan jeroan sapi atau ayam dan kadang tercampur pula di dalamnya sate apus, atau sate yang terbuat dari tepung gandum yang diberi bumbu dan dibentuk seperti daging (dalam bahasa Jawa, “apus” berarti palsu atau bohong).

Setelah makan singkat kami tetap duduk sambil mengobrol dan merokok di tempat ini hingga lewat jam 7, kemudian kami memutuskan untuk berjalan-jalan mengunjungi Ngarsopuro. Ngarsopuro terletak di sepanjang jalan penghubung antara Citywalk Solo di Jalan Slamet Riyadi dengan pintu masuk Puro Mangkunegaran, yang menjadi kawasan yang menarik dan seringkali dimanfaatkan sebagai pusat kegiatan para seniman dan pedagang kota Solo, sebagai hasil restorasi dari kawasan Pasar Triwindu. Pada Ngarsopuro ini diadakan Night Market setiap Sabtu Malam, dan teman-teman lama semasa kuliah kami yang berkarya melalui Helo Solo selalu ikut serta dalam Night Market ini. Dan khusus malam ini, Adit beserta teman-teman kami yang lain dari komunitas fotografi HoreFotoHore | Photography memajang karya mereka di stand yang sama. Ditambah lagi karena Mas Purwo, senior kami yang memanasi kami untuk berkumpul dan mengadakan reuni kecil di akhir minggu ini, beserta beberapa adik kelas yang tidak sempat kami temui siang tadi telah menyatakan bahwa akan datang ke Night Market Ngarsopuro malam ini, membuat kami memutuskan untuk menuju kesana sebelum acara “ngobrol sambil ngopi sampai pagi” malam nanti.

[Ngarsopuro]

[Keunikan di Ngarsopuro - hiasan-hiasan dari sangkar burung yang dijadikan wadah untuk lampu penerang jalan]

Night Market Ngarsopuro malam itu begitu ramai, dan di tengah keramaian itu kami berkumpul dengan teman-teman lama yang lain. Acara dilanjutkan dengan foto bersama menggunakan kamera polaroid Adit, bercengkrama dengan teman-teman dan adik-adik kelas kami. Tidak terlalu lama kami berkumpul disana, ketika mas Purwo yang baru saja tiba di kota Solo mengajak teman-teman kami untuk makan malam di Bebek Pak Slamet (ini tempat makan favorit calon suami saya dan teman-teman lain semasa kuliah dulu), maka kami pun berpisah di tempat. Untuk beberapa lama saya dan Dika berjalan-jalan melihat-lihat segala macam stand dalam Night Market itu, mengambil beberapa foto kemudian kami pergi menuju rumah keluarga saya di Sambeng untuk menjumpai Om Ayik.

Rumah Sambeng begitu sepi karena memang Om tinggal di rumah yang besar itu sendiri. Seperti biasanya, obrolan bersama Om Ayik selalu seru. Bahkan Dika sampai keasikan mengobrol bersama Om membicarakan segala macam topik, dari yang paling sederhana hinga hal-hal yang rumit seperti thesis almarhum Eyang Kakung yang begitu menarik dan penuh pengetahuan baru. Setelah ahirnya menerima SMS yang mengabari bahwa teman-teman telah berkumpul kembali dan sambil setengah memaksa Dika untuk pergi, maka kamipun pamit untuk menyusul teman-teman kami (huhu maaf ya sayang).

Waktu itu jam menunjukkan beberapa menit melewati pukul 10 malam ketika kami menyusuri Jalan Slamet Riyadi dengan mengendarai motor teman kami, Hallala. Kami langsung menyusul teman-teman yang telah berkumpul di Kopi Kupas, yaitu coffee-house milik senior kami di kampus dulu yang terletak di Jalan Bhayangkara, di kawasan Tipes. Tempat minum kopi ini memang selalu menjadi tempat pertemuan kami semenjak semasa kuliah dulu. Bahkan ketika saya telah pindah di Jakarta tahun 2008 yang lalu dan Dika masih berada di kota Solo, kami pun akan pergi ke Kopi Kupas ini berdua saat saya “pulang” ke Solo untuk berlibur di akhir pekan.

Berkumpul bersama dengan teman-teman baik kami, mengobrolkan berbagai topik dan bercanda bersama sambil minum kopi dan merokok, melepas kerinduan sambil “menyegarkan diri” setelah demikian lama kami harus berkutat dengan pekerjaan yang begitu berat dan melelahkan, malam itu terasa begitu spesial untuk kami semua. Senang dan begitu ringan rasanya bisa mengobrol santai dan tertawa lepas bersama teman-teman lama. Kantuk dan lelah pun tidak terasa, hingga waktu terus mengalir tanpa sadar dan kami baru meninggalkan tempat itu pada pukul 2 pagi ketika coffee-house itu akan tutup.

[Kebersamaan yang kami rindukan]

[Berbagai karya foto dari senior dan teman-teman Klub Fotografi Arsitektur UNS terpajang di dinding-dinding Kopi Kupas]

[Bebas berdiskusi dan bebas tertawa lepas]

Malam itu untuk mempermudah transportasi dan menghemat tenaga maka saya memutuskan untuk ikut rombongan teman-teman dan Dika pulang ke kawasan kampus. Malam itu sesuai keputusan awal Dika akan menginap di kontrakan Hallala bersama teman-teman yang lain (FYI, teman-teman yang berkumpul malam ini termasuk calon suami saya memang dulu semasa kuliah selain memiliki hobi dan kegiatan yang sama, mereka juga tinggal di satu rumah kontrakan yang sama, dan hal itulah yang mendekatkan mereka meski semuanya sebenarnya berlainan angkatan, sementara saya yang juga memang memiliki hobi dan kegiatan yang sama dengan mereka, belum lagi karena memang saya dan Dika semenjak 7 tahun yang lalu memang sering melakukan beragam hal bersama maka saya pun menjadi sangat dekat dengan mereka. Mereka pun bahkan tetap merasa nyaman dengan adanya saya meski saya satu-satunya perempuan malam itu hehehe), dan saya sesuai rencana akan menginap di kos Westi, adik kelas kami sesama anggota Klub Fotografi Arsitektur (KFA). Setelah mampir sebentar di kontrakan Hallala, Dika lalu mengantar saya ke kos Westi dimana saya kemudian langsung beristirahat melepas lelah.

Saya terbangun pukul 7 pagi ketika Westi bersiap untuk pergi ke acara pernikahan teman seangkatannya. Saya pun bergegas untuk merapikan barang-barang saya dan bersiap pergi. Pukul 9 pagi Dika menjemput saya untuk mencari sarapan pagi bersama. Sebelumnya kami mampir kembali ke kontrakan Hallala untuk menitipkan ransel gendut saya kemudian kami menelusuri kawasan kampus kami (Universitas Sebelas Maret Solo atau yang biasa disebut UNS) untuk mencari sarapan sambil sedikit bernostalgia. Area belakang kampus telah banyak berubah, ketika dulu di balik tembok belakang kampus terdapat banyak berjajar toko-toko kecil yang menjual makanan atau menjual pulsa telepon, dan berbagai tempat foto copy yang bisa membantu para mahasiswa untuk menyelesaikan tugas, kini toko-toko kecil itu telah tergusur dan tembok itu tampak bersih. Sementara di seberangnya terdapat pusat aktivitas yang lebih rapi sebagai gantinya. Setelah berputar dan berkeliling selama beberapa waktu akhirnya kami menemukan warung soto khas Solo jauh di belakang kampus. Sarapan yang hangat dan cukup segar untuk pagi yang sejuk dan dingin. Dan yang paling menyenangkan dan membuat kami rindu adalah, makanannya murah sekali, saudara-saudara!! Mau tahu seberapa murahnya makanan di kota Solo? Pagi itu kami memenuhi perut kami yang kosong dengan dua porsi nasi – soto daging, satu plastik kecil kerupuk rambak, dua potong gorengan dan dua gelas teh hangat, dan semuanya hanya menghabiskan Rp. 10.500,- !!! (ini bukan untuk masing-masing orang, tapi untuk kami berdua!).

[Warung Soto Solo di belakang kampus]

Setelah kenyang dan masih yakin bahwa teman-teman yang lain belum terbangun (ternyata teman-teman di kontrakan masih melanjutkan mengobrol hingga nyaris jam 4 pagi), maka saya dan Dika memutuskan untuk meneruskan menelusuri kampus dan mampir ke kampus Arsitektur, tempat kami menimba ilmu dulu. Nostalgia yang menyenangkan, sayang hari ini adalah hari Minggu sehingga kami tidak bisa bernostalgia dengan maksimal karena gedung dikunci dan kantin tempat kami dulu biasa nongkrong bersama hari itu tutup. Tapi benar-benar senang melihat kampus kami lagi dan mengingat bagaimana dulu kami beraktivitas bersama disini.

[Kampus Arsitektur UNS tercinta. Photo by: Wahyu Adi Pramardika]

[di spot inilah dulu kami biasa duduk berteduh sambil mengobrol atau latihan teater bersama.
Photo by: Dita Wisnuwardani]

Setelah puas bernostalgia dan langit mulai mendung kami pun kembali ke kontrakan. Pada saat kami tiba ternyata Ade telah pergi keluar untuk ke kos teman kami, Dias, untuk mencari sarapan bersama. Setelah menunggu hujan reda dan teman kami Hallala telah terbangun dari tidur maka kami bertiga pun menyusul Ade dan kawan-kawan yang sedang bersarapan pagi di sebuah warung makan di belakang kampus. Di warung ini kami pun melanjutkan obrolan santai nan konyol kami seperti malamnya, dengan ditambah kehadiran mas Alfian. Di tengah obrolan kami yang seru tiba-tiba tampak satu rombongan yang kami kenal datang untuk makan di warung yang sama. Rombongan itu ternyata adalah teman-teman kami juga, yaitu kelompok musik Etno Ensemble dari kampus ISI (Institut Seni Surakarta) yang bertetanggaan dengan kampus kami dan memang sebagian personilnya kami kenal dengan baik. Senangnya. Sebuah reuni yang tidak terduga.

Setelah teman-teman kami selesai sarapan kami pun kembali ke kontrakan Hallala, mengobrol dan bersantai bersama sambil berusaha memutuskan kemana tujuan kami hari itu. Baru ketika siang hampir berganti sore kami pun beranjak dari malas kami dan berombongan menuju Pasar Triwindu, untuk melihat-lihat barang-barang antik yang ada di pasar itu sambil mengambil beberapa foto.

[Menelusuri Pasar Triwindu.Photo by: Wahyu Adi Pramardika & Dita Wisnuwardani]

[Wajah Triwindu.Photo by: Wahyu Adi Pramardika & Dita Wisnuwardani]

Sore itu Solo diguyur hujan, kami berteduh di halaman Pasar Triwindu sambil menyantap Wedang Dongo, dan ketika hujan sudah cukup reda kami pun kembali melanjutkan perjalanan kami dan akhirnya berhenti di sebuah wedangan kecil yang kami temui di tengah jalan tepat ketika hujan kembali turun. Wedangan atau hik adalah santapan murah yang menjadi khas di kota-kota di Jawa Tengah terutama Solo, menyajikan nasi dalam bungkusan-bungkusan dan porsi yang kecil yang biasa disebut dengan Nasi Kucing, beserta lauk pauknya yang berupa gorengan, atau berbagai macam sate-sate yang terdiri dari daging ataupun jeroan, dan tidak ketinggalan minuman hangat seperti jahe, kopi tubruk dan teh. Wedangan adalah sebuah tradisi yang telah menjadi kebiasaan kami sejak dulu dan merupakan hal yang setiap saat kami rindukan. Sebagai anak-anak kos kami nyaris setiap malam selalu makan di wedangan-wedangan murah di sekitar kampus atau di tengah kota. Wedangan-wedangan kecil ini dapat ditemui dimana saja, dan patut dicoba setiap kali mengunjungi kota Solo. Mungkin seandainya kami tidak dihentikan oleh hujan maka kami akan kembali ke kawasan kampus untuk nongkrong di Wedangan Prau atau Wedangan Kapal, yaitu wedangan yang selalu ramai yang terletak di gerbang masuk kawasan kampus ISI yang ditandai dengan perahu raksasa di bagian atas gerbangnya. Ketika makan, di tengah melepas rindu sejenak Dika, calon suamiku tercinta, berkata “Dulu hal semacam ini menjadi keseharian kita. Sekarang justru menjadi liburan buat kita. Sekarang pertanyaannya bagaimana menjadikan supaya semua ini kembali seperti hal-hal yang biasa kita lakukan dulu?“. Sebuah pernyataan yang memang selama ini menjadi pertimbangan kami berdua. Kami ingin sekali kembali hidup di Solo, dengan kesederhanaannya, dengan segala pergerakannya yang santai dan menyenangkan. Mudah-mudahan bisa terwujud secepatnya.

[Hidangan wedangan - maaf hasil fotonya agak blurry]

Ketika hujan berhenti dan kami selesai makan kami pun berombongan kembali ke kontrakan. Malam itu ada pertandingan sepak bola di televisi, sementara teman-teman dengan ramai menyaksikan pertandingan itu, saya dan Dika yang memang bukan penggemar sepak bola lalu bersama merapikan barang-barang dan beristirahat sejenak. Kami akan pulang ke kota Jakarta dengan kereta Argo Dwipangga tambahan khusus Lebaran malam ini pukul 21.30.
Sambil menunggu waktu pulang kami berdua duduk bersama di kamar Hallala dan mengobrol. Saya pun sempat melihat-lihat workshop kecil di sudut kamar yang dipenuhi dengan beragam alat-alat perlengkapan dan bahan pembuat fingerboard. Hallala dan Ade memang “atlet“ fingerboard sekaligus pembuat dan pengusaha fingerboard buatan sendiri yang dijual secara online. Lihat websitenya di sini.

[Fingerboard yang sedang dikerjakan Hallala]

Pukul 21.00 Hallala dan Dias mengantar saya dan Dika menuju ke Stasiun Solo Balapan. Kami pulang ke Jakarta malam itu dengan perasaan yang puas karena telah melewati masa-masa yang menyenangkan, berjumpa dengan teman-teman dekat dan berjanji dalam hati, bahwa kami akan segera “pulang“ ke kota Solo.

-end-

No comments:

Post a Comment

tinggalkan pesan di sini...
tell me everything !!