Helloooo…apa kabar semua ?
Akhirnya kembali lagi ke blog ini sehabis liburan. Kali ini saya akan coba bercerita tentang ‘liburan’ saya yang lalu. Seminggu yang lalu saya melakukan sebuah perjalanan yang berbeda dari sebelumnya. Jika hanya sekedar jalan-jalan mengunjungi lokasi-lokasi wisata bersama dengan keluarga atau bersama teman-teman dengan tujuan untuk hunting objek foto atau belajar arsitektur, semua telah saya lakukan dan saya jarang sekali membuat travel log. Biasanya hasilnya hanya berupa foto-foto hasil jepretan selama perjalanan yang terpajang di pameran atau cerita-cerita di jurnal yang tidak saya publikasikan. Kali ini perjalanan ini akan saya ceritakan, mungkin untuk lebih gampangnya saya bagi ke beberapa bagian.
This is part 1….
Seperti yang saya bilang sebelumnya, perjalanan kali ini berbeda. Pertama, karena ini adalah pertama kalinya saya travel sendiri. Bukan, kalau hanya sekedar jalan-jalan dan keluar kota sendiri tanpa keluarga atau teman sudah sering saya lakukan. Tapi kali ini pergi tanpa mengajak partner setia saya, yang selalu menemani kemanapun saya pergi (meski hanya pergi ke kantor). Partner saya ini adalah……………Terry !!
[Terry, my travel partner and loyal companion]
Haha…oke sekarang kembali serius…biar saya mulai bercerita :D
Semua berawal ketika di bulan puasa. Keluarga saya yang berasal dari kota Solo memutuskan untuk merayakan Lebaran di Jakarta bersama keluarga Eyang Uti tercinta, yang sebenernya ada kakak perempuan dari almarhum Eyang Kakung dari pihak Ibu saya, di rumahnya di Imam Bonjol, Menteng. Jelas saya ga terima dongs…sebagai alumni sebuah unversitas negeri asal Solo yang begitu rindu dengan kota itu dan setahun ini menunggu datangnya libur yang cukup untuk bisa “pulang” ke Solo, saya langsung protes dan menyatakan untuk pergi liburan ke Solo sendiri tanpa keluarga sehabis Lebaran. I need the vacation, and I need to see my “home city”. Niat saya yang begitu kuat itu saya sampaikan ke ibu dan calon suami, dan kemudian keduanya justru memberi tawaran yang sama, “mau sekalian ke Muntilan?”.
Muntilan adalah sebuah kota kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang berada pada jalur perjalanan wisata menuju Candi Borobudur dari Yogyakarta. Kota Muntilan ini adalah kota kelahiran calon suami saya (ehem…ehem…).
Setelah tawaran terlontarkan maka saya terus merencanakan soal jalan-jalan saya selama liburan, dan kalau bisa bersama calon suami. Tapi hingga detik terakhir menjelang hari Lebaran saya belum benar-benar memastikan keberangkatan saya karena masih kurangnya satu “surat ijin” yang belum keluar, ijin dari Bapak. Maka ketika akhirnya tepat satu hari menjelang hari Lebaran Bapak memberi restu untuk pergi, saya pun langsung mencari tiket yang masih available untuk membawa saya menuju kota kecintaan saya itu. Dan dua hari setelah Lebaran, perjalanan itu dimulai.
Tanggal 12 September 2010, pukul setengah 5 pagi saya meninggalkan rumah dan meluncur langsung menuju Bandara Soekarno-Hatta untuk kemudian meninggalkan kota Jakarta dengan penerbangan paling pagi pesawat Lion Air dengan tujuan kota Yogyakarta. Saya memilih untuk berangkat dengan armada pesawat ini dengan pertimbangan untuk menghemat waktu dan biaya. Menurut biro yang saya hubungi ketika hendak mencari tiket, pesawat termurah langsung menuju Solo dari Jakarta yang termurah berangkat setelah jam 7 pagi dengan biaya sekitar 450 ribu, kemudian dari bandara Adi Soemarmo menuju rumah tinggal keluarga di Solo hanya bisa dicapai dengan taxi dan biasanya akan membutuhkan biaya sekitar 25 ribu rupiah (ini jika jalanan lancar, tapi mengingat saat ini sedang Lebaran maka ada kemungkinan jalur yang akan saya lewati dipadati kendaraan bermotor). Sementara dengan armada yang saya Lion Air ini saya akan menghabiskan 325 ribu rupiah untuk tiket pesawat, 9000 rupiah untuk kereta Prambanan Ekspress menuju Stasiun Solo Balapan dan 2500 rupiah menuju rumah. Hemat dan lebih seru kan, hehehe…
Penerbangan pagi itu ternyata tepat waktu. Sempat agak gugup karena biasanya ketika saya bepergian keluar kota sendiri saya memilih untuk menaiki kereta atau bis. Tapi syukurlah saya ga salah masuk boarding station, apalagi salah naik pesawat hehehe. Pukul 06.25 pesawat take off meninggalkan bandara Soekarno-Hatta dan mendarat di Bandara Adi Sucipto 50 menit kemudian. Sampai di bandara saya yang hanya membawa sebuah ransel gendut dan tas tenteng gratisan dari tempat fitness dimana saya biasa berolahraga (ceritanya kaya disponsori) langsung melesat keluar menyeberang jalan ke Stasiun Maguwo, untuk menanti kereta Prambanan Ekspress yang akan membawa saya ke kota Solo. Sampai di stasiun yang sepi itu saya baru menyadari bahwa kereta baru akan tiba kurang lebih satu jam terhitung sejak saya tiba, maka saya pun duduk untuk menanti loket tiket buka, sambil melihat sekeliling dan beberapa kali meng-update status di twitter untuk menghilangkan rasa bosan.
[Tiket kereta Prambanan Ekspress,
harganya telah naik 1500 rupiah sejak saya meninggalkan kota Solo dan Jogja beberapa tahun yang lalu]
Kereta datang pukul 08.50 dan saya pun dibawanya menuju Solo. Dan akhirnya, nyaris satu jam kemudian….saya tiba di kota Solo.
[Welcome to Solo]
Seperti tahun-tahun sebelumnya setiap kali saya “pulang” ke kota ini, di pintu keluar stasiun telah tampak bergerombol para tukang becak yang menanti penumpang, yaitu mereka yang baru datang dari luar kota dengan kereta yang baru tiba. Saat saya sedang melangkah keluar salah seorang tukang becak menghampiri saya (sambil sedikit mengejar karena langkah saya yang keberatan tas ternyata masih cukup cepat) dan menawari tumpangan. Sambil lalu saya bertanya, “teng sambeng pinten pak?” (“ke sambeng berapa pak?”), dan si bapak becak menjawab, ”pun gangsal welas mawon,mbak.harga lebaran niki mbak” (“cukup lima belas ribu aja mbak.harga lebaran ini mbak”). Heh? Ding dong…mahal sekali! Padahal dari stasiun sampai ke Sambeng (daerah rumah keluarga saya) semisal kuat jalan kaki pun bisa sampai. Jelas saya langsung menolak tawaran si bapak dan terus berjalan keluar stasiun untuk menunggu bis.
Sayangnya pagi itu Solo sangat panas dan bis yang saya tunggu ternyata sudah terlanjur lewat. Akhirnya saya berjalan sampai beberapa meter ketika di depan sebuah warung ada tukang becak yang menawari saya tumpangan dan mau memberi harga 4000 rupiah sampai ke rumah. Tak apalah daripada saya semakin lama menunggu bis tiba dan lagipula saya hanya menambah 1500 rupiah dalam perkiraan ongkos perjalanan saya. Belakangan selama perjalanan yang singkat menuju rumah saya berbincang dengan si tukang becak dan ternyata si bapak tinggal tidak begitu jauh dari rumah saya di Sambeng, pantas mau memberi harga normal hehe (tetangga satu kampung!).
Sampai di rumah saya langsung sungkem untuk memberi ucapan Idul Fitri ke Om Ayik, adik laki-laki Ibu saya yang telah banyak membantu mengurus saya selama saya hidup di Solo masa kuliah dulu. Setelah mengobrol dan istirahat sejenak akhirnya saya minta Om untuk mengantar saya menuju makam keluarga besar Ibu di Bibis Luhur untuk mengunjungi makan almarhum Eyang Kakung dan Eyang Putri, serta Almarhumah Tante saya. Dari Bibis Luhur Om mengajak saya mengunjungi rumah istrinya, lalu dari sana saya memutuskan untuk pergi seorang diri untuk berjalan-jalan di Jalan Raya Slamet Riyadi. Jalan utama ini dipenuhi aktifitas sehari-hari seperti biasanya di kota Solo ini, saya tidak banyak “merekam“ kegiatan saya disini karena masih ingin menikmati suasana kota Solo sebisa mungkin. Ada banyak kerinduan yang saya rasakan terhadap kota ini.
Ketika mulai terasa lapar dan sore mulai menjelang, langit pun mulai gelap. Akhirnya saya memutuskan untuk mencari makan dan memilih untuk menyantap makan siang di Kopitiam Oey milik Bondan Winarno di Jalan Perintis Kemerdekaan. Disini saya menunggu Om saya untuk menjemput, lagipula Om saya juga saat itu sedang ingin mencari makan, jadi sekalian kan.
Selesai makan kami pulang, dan saya meneruskan sore itu untuk membersihkan kamar tidur saya yang sudah saya tinggalkan selama 1 tahun lamanya, memilah beberapa barang yang ada, siapa tahu ada yang bisa saya bawa pulang ke Jakarta atau bisa saya buang. Dan saya justru menemukan beberapa berkas lama saya, tugas kuliah serta gambar, poster dan maket Tugas Akhir saya *terharu*. Rencana awal saya untuk makan malam di wedangan khas Solo terpaksa dibatalkan karena turun hujan, selain itu menurut info Om saya, wedangan Pak No yang menjadi wedangan favorit saya selama tinggal di rumah itu dulu belum mulai berjualan karena masih waktunya libur Lebaran. Malam itu saya dikabari calon suami bahwa dia akan menjemput saya untuk diajak ke rumahnya esok hari, maka saya pun langsung beristirahat.
Pagi harinya pukul 08.45 saya berangkat dengan kereta Prambanan Ekspress yang berangkat pukul 08.52 WIB dari Stasiun Purwosari Solo dan tiba nyaris satu jam kemudian di Stasiun Tugu Yogyakarta. Sampai di stasiun tujuan saya duduk di lobby depan loket pembelian tiket kereta untuk menunggu dijemput Dika, sang calon suami dan pada saat itu ada kelompok gamelan khas Jawa yang sedang menghibur para pengunjung stasiun. Setelah tiba Dika mengajak saya untuk makan pagi (terlambat memang) bersama Irus, teman masa kecilnya yang tinggal di kota Jogja yang kebetulan merayakan ultahnya hari itu. Maka dengan berboncengan motor kami pun pergi meninggalkan stasiun dan mencari tempat yang nyaman untuk makan dan mengobrol bersama. Setelah berputar-putar beberapa waktu akhirnya kami memilih untuk berhenti di sebuah Restoran Iga Bakar yang terletak di daerah Jakal Km. 5. Resto sederhana ini cukup nyaman, meski sajiannya belum lengkap karena masih masa libur. Dan kami bisa mengobrol untuk beberapa waktu sebelum saya dan Dika melanjutkan perjalanan menuju Muntilan dan Irus kembali ke kosnya untuk melanjutkan pekerjaan.
[Di dalam gerbong khusus perempuan di kereta Prambanan Ekspress menuju Jogja]
[Berkumpul mengobrol sambil menyantap iga bakar di Jakal Km.5]
Saya dan Dika sampai di Muntilan siang hari, disambut dengan hangat oleh keluarganya, jujur saya merasa sangat amat grogi karena memang baru kali inilah saya bertemu keluarganya. Hari ini Om saya, Adik Bapak yang tinggal Yogyakarta mengirimkan SMS tentang beberapa lokasi di Muntilan yang merupakan pusat kuliner yang sangat menarik. Tapi hari itu telah dijadwalkan sebagai hari perkenalan saya dengan keluarga Dika, maka saya seharian itu menghabiskan waktu berbincang bersama Ibunya, Kakak-Kakaknya serta keponakannya yang lucu-lucu (FYI, calon suami saya ini adalah anak bungsu dari 4 bersaudara dan ketiga kakaknya telah berkeluarga, masing-masing memiliki 3 orang anak. Jadi bisa dibayangkan bagaimana ramainya rumah itu, meski kakak perempuan tertuanya bersama suami dan kedua anaknya telah pulang ke Semarang ketika saya tiba).
Satu hari yang menyenangkan. Saya cukup lega karena ternyata Ibunya ramah sekali (sepanjang perjalanan Jogja-Muntilan saya grogi banget). Selepas Magrib akhirnya saya pamit pada keluarga Dika. Mengingat hari itu adalah pertemuan pertama maka sangat tidak mungkin saya tinggal untuk bermalam di rumah Dika, maka saya pun kembali ke Yogyakarta untuk menginap di rumah Om Tetet, adik Bapak. Dika yang mengantar saya dengan motornya. Udara malam itu cukup dingin, terutama karena rumah Om terletak di Kaliurang, bagian dari Propinsi DI Yogyakarta yang merupakan dataran tinggi. Dan ditambah dengan gerimis hujan yang mulai turun tepat ketika kami mulai memasuki kawasan perumahan tempat tinggal Om. Sampai di rumah kami berjumpa dengan kedua adik sepupu saya yang ternyata telah menunggu seharian (Terjadi miskomunikasi ternyata. Karena Om dan Tante pergi seharian dan sebelum pergi hanya meninggalkan pesan, “mba Dita dateng lho hari ini, nanti menginap ya. Sampai di Jogja mungkin siang“). Sambil istirahat sejenak dan minum kopi, kami mengobrol dengan Hestu dan Sita, hingga Om dan Tante pulang. Dika pamit pulang ketika jam menunjukkan nyaris jam 10 malam dan baru sampai di Muntilan hampir tengah malam. Saya pun langsung beristirahat, mempersiapkan tenaga untuk melanjutkan petualangan kecil saya esok harinya.
Sekian bagian pertama. Bersambung di Travel Log bagian kedua ya.
No comments:
Post a Comment
tinggalkan pesan di sini...
tell me everything !!