Music and Me

Everyone who knows me,then and now, would probably also knows how much I love music. Mungkin “relasi” gue dengan musik ga se”dalam” calon suami gue dengan musiknya, tapi mungkin bisa dibilang musik banyak memberi pengaruh untuk gue. Dan mengingat bagaimana “hubungan” gue dengan musik, ada banyak sekali cerita yang tersembunyi disana. Let me share them to you :)

Jika ditanya kapan tepatnya waktu perkenalan gue dengan musik, mungkin agak susah dijawab. Karna gue yakin sekali, gue berkenalan dengan musik pertama kali adalah ketika gue masih di dalam kandungan Ibu. Ini serius dan bukan sok dramatis.

Keluarga besar gue, baik dari sisi Bapak maupun Ibu, adalah keluarga pemusik. Alm. Kakek dari pihak Bapak (Bapak nya Bapak) dulunya pemain biola, dan saudara-saudara kandung Bapak serta Bapak sendiri semuanya adalah pemain musik dan konon dulu ketika masa sekolah mereka (yang seutuhnya adalah 9 bersaudara) pernah membentuk band keluarga, meski hanya untuk senang-senang saja. Dan Bapak sendiri adalah pemuja Rock n Roll sejati. Dengan koleksi musik yang menakjubkan, seperti Led Zeppelin, Deep Purple, Genesis (ini band yang menginspirasi Bapak gue paling utama), dan lain-lain, terutama mungkin musik-musik Jazz. Keluarga Ibu gue, seluruhnya adalah seniman, arsitek dan pemusik. Alm. Kakek dan Nenek (orang tua Ibu) dua-duanya pemusik, Alm. Nenek gue suka sekali menyanyi dan Alm. Kakek adalah pemain gitar yang cukup handal. Dari kelima bersaudara, empat di antaranya pemusik sejati. Ibu saya sendiri adalah penyanyi, yang sudah menjadi entertainer asal kota Solo sejak kelas 5 SD. Maka bukan ga mungkin jika dibilang, ketika Ibu baru mulai mengandung, gue sudah dikenalkan dengan musik.

Tapi kenangan paling pertama gue dengan musik, walopun gue ga inget bener sejak kapan, terekam dari kenangan gue ke satu lagu. Dari cerita Ibu gue, ketika gue lahir ada keluarga yang ngasi hadiah kotak musik ke Ibu, dan musik dari kotak musik ini akhirnya terekam di memori gue dan tiap kali gue denger lagu ini, dari manapun, gue akan merasa sangat amat kangen. Bahkan ga jarang, tiap denger lagu ini gue akan menangis. This is the song…


(Swan Lake - Piotr Ilyich Tchaikovsky )

Selanjutnya sebagai anak kecil yang lagi tumbuh, orang tua gue selalu memperkenalkan musik anak-anak yang begitu menyenangkan. Tapi yang selalu gue nyanyikan adalah London Bridge (…London Bridge is falling down…falling down…falling down…haha). Dan atas influence Bapak dan Ibu, maka sejak gue masih TK saya sudah ikut mendengarkan Pink Floyd (my childhood favorite was The Wall :p), George Michael, Madonna, Tina Turner, The Beatles (ini bahkan sejak umur 6 tahun gue udah belajar main piano nya haha), dan tentu saja, The King Of Pop himself, Michael Jackson :)

Tapi perkenalan gue dengan the real music yang akhirnya menarik perhatian gue untuk mengulik dan mengejar musik untuk gue sendiri, adalah di awal tahun 1990an ketika gue pertama kali mendengar lagu yang cukup legendaris (jaman itu), Enter Sandman dari Metallica (untuk yang ini pasti banyak yang ga tahu hehe). But my real music journey didn’t actually started at that exact time. Pada masa yang ga terlalu jauh dari saat itulah gue menemukan my “it”. Well, you know, the moment where you find yourself at the point of no return, when you actually find that purpose or the magical twist that at the very second you actually can feel you heart breathing (not just beating – ummm oke gue mulai lebay).

Pada saat itu, ketika gue masih berseragam putih-merah, gue selalu pulang sore untuk bimbingan belajar dan di siang hari gue akan membeli makan siang di depan sekolah. And then there was this guy. Pada masa itu gue ingat sekali ada beberapa “kakak-kakak” berseragam putih-abu yang selalu duduk di area tukang-tukang jajanan sekolah dan satu di antaranya menarik perhatian gue (this is not a love story, people. Watch it!). Gue tertarik pada “kakak” ini karena pada pertama kali gue ketemu dia, dia menggunakan tongkat kayu. Konon tukang jualan mie ayam langganan gue bercerita bahwa laki-laki muda dengan perawakan tubuh kurus tinggi, berkulit putih dan berambut coklat ini (ingatan saya mengerikan, saya tahu) mengalami kecelakaan yang lumayan parah. Bahkan seingat gue, hingga di saat gue lulus sekolah cowok ini masih berjalan sedikit pincang. Tiap kali ketemu maka mata gue akan memperhatikan dia, karena gaya dandannya yang sangat ”khas” (I haven’t figured it out at that time, but it was then also became my own style after what had happened next), dan dia bahkan pada satu kali datang ke sekolah dengan membawa komik favorit gue (hahahaha out of context! Oke lanjut!). Lalu datanglah hari itu, ketika entah kenapa gue memutuskan untuk nongkrong lebih lama di tukang mie ayam dan si “kakak” ada disana bersama teman-temannya. Dan kemudian dia mengeluarkan music player kecil, sebuah tape berukuran walkman pada waktu itu, dan memutar sebuah lagu yang menimbulkan efek “click” di kepala dan berpengaruh di tubuh gue. It was the music and the amazing voice from Mr. Cobain himself, and the song was All Apologies by Nirvana.

And then there it was…my whole music adventure started :)

Dalam beberapa tahun berikutnya gue terus mempelajari dan mengumpulkan musik dari Nirvana. Tapi ketika pada masa itu internet belum merajai dunia komunikasi, maka gue harus menyisihkan uang saku gue untuk membeli kaset (dan komik). But as a little girl that I was, gue belum benar-benar se-addicted sekarang dalam mengumpulkan musik, jadi musik yang gue dengarkan saat itu belum gue koleksi secara pribadi (waktu itu masi dalam media kaset pita), melainkan hanya dari pinjaman teman sekolah dan atas jasa radio. Tahun 1995, gue mengenal Silverchair, dan justru melalui lagu-lagu dari band inilah minat gue untuk benar-benar bermain musik muncul dan gue pun mempelajari alat musik yang bernama gitar dan drum. Pada saat memasuki masa-masa SMP ini juga gue baru mengembangkan semangat dan hasrat untuk mengkoleksi kaset pita dari musik-musik yang menarik untuk gue. Koleksi gue meliputi album Metallica (Metallica), Nevermind, In Utero dan From the Muddy Banks of the Wishkah (Nirvana), Frogstomp (Silverchair), Throwing Copper (Live), Villains (The Verve Pipe), Sixteen Stone (Bush), Everybody Else Are Doing It So Why Can’t We dan No Need To Argue (The Cranberries), serta Core ( Stone Temple Pilots).

Selain dari koleksi-koleksi tersebut, gue tetap mengikuti band-band era Grunge dan band lain yang muncul pada masa-masa itu, seperti Pearl Jam, Alice In Chains, Blind Melon, dan Korn. Tentu saja, melalui pinjaman teman, radio, dan kali ini ditambah dengan mencoba mempelajari musik-musik itu bersama teman-teman gue dengan membentuk band (walaupun kemudian hanya sebatas band studio saja). But again, the teenage girl as I was, gue pun sempat menggilai era boyband yang pada saat itu mulai merajai dunia musik pop. Maka ga heran ketika dalam koleksi musik gue mulai menyelip musik Backstreet Boys dan N’Sync, serta Hanson dan The Moffatts. Gue bahkan sempat cenderung “menggilai” mereka, as in, I could totally scream my lungs out just seeing them. Ini benar, dan gue bahkan tidak malu mengakuinya. Bahkan gue pun pernah mengalami bersama beberapa teman SMP gue, berjuang keras untuk bisa menyaksikan Hanson langsung di Hard Rock Café Sarinah pada waktu itu hehehehe.

Anyway, perkenalan gue dengan salah satu music influence terbesar gue (setelah era Nirvana), Radiohead, terjadi pada masa putih-biru ini, ketika gue berkenalan dengan seorang music maniac yang berusia dua tahun lebih tua dari gue, Dion. Manusia ini juga yang me”ngompori” gue untuk kemudian bermusik, dengan kalimat khasnya yang ga akan pernah gue lupa, “Kita mungkin ga akan benar-benar bisa paham soal musik dan esensi si musik itu jika kita ga mencoba memainkannya dan merasakan efeknya sendiri”. Sebelumnya gue sudah mengenal Radiohead melalui salah satu hits nya yang sering diputar MTV masa itu, High and Dry. Tapi hanya bersama Dion dan teman-teman gue yang lain barulah gue mendalami Radiohead, pada masa awal kebangkitan mereka. Sejak itu Dion menjadi “guru” gue (Again people, this is not a love story). Masa SMP gue yang cukup singkat mendorong gue untuk lebih jatuh cinta lagi pada musik, dan bermain musik. Sayang hal ini sempat terhenti ketika sahabat gue, Dion, meninggal akibat Leukemia di tahun pertamanya berseragam putih-abu (God Bless you always, my big bro).

Memasuki masa SMA, gue mengenal musik-musik baru. Tahun 1999, gue mulai tertarik pada female vocals. Pada era itu pada musik pop mulai bermunculan pop divas seperti Britney Spears dan Christina Aguilera, serta band alternative dengan lead vocal wanita seperti No Doubt, Garbage dan The Cardigans. Gue pun mengikuti, terutama pada kejeniusan olah vocal Aguilera. Tapi tentu saja, my love at that time goes to both Bjork and Tori Amos. Both of them are still on my top lifetime favorite female vocals list. Pada masa ini pula gue sempat jatuh cinta pada gothic lifestyle, dan mulai mengikuti musik-musik dari Marylin Manson, Slipknot, White Zombie, Static-X, namun tetap gue ga akan pernah bisa meninggalkan grunge root gue dengan masih mengkoleksi dan memainkan musik Nirvana, Silverchair dan Stone Temple Pilots. Pada masa ini Internet sudah mulai menguasai jaringan komunikasi namun gue belum cukup teradiksi dengan kehadirannya. Dan masih mengumpulkan karya musik dari bentuk kaset pita :D

Di saat yang sama gue masih bermain musik, kali ini bersama pacar gue semasa SMA, Iyo, dengan memainkan Radiohead sepanjang era The Bends dan Pablo Honey. With an addition of Smashing Pumpkins, terutama karna mereka lagi booming sekali saat itu hehehe. Dan untuk musik lokal, hmm..honestly, I never can really relate to them. Walaupun akhirnya gue pun mengoleksi GIGI, /Rif dan Dewa 19 (pada masa era Ari Lasso, they were creatively good at that time).

Hingga menjelang akhir masa SMA, gue terus mengikuti perkembangan musik, mendengarkan dan bermain musik. Namun untuk hal yang terakhir ini lagi-lagi harus berhenti ketika Iyo menghembuskan nafas terakhirnya kala memasuki caturwulan ketiga dari masa sekolah kami yang nyaris habis.

Tahun 2002, gue pindah ke kota Solo. Dan saat ini lah kehidupan gue mulai berubah drastis. Dan dalam hal musik, minat gue terhadap dunia ini semakin mendalam. I mean, sebagai remaja yang berasal dari kota Jakarta (meski dari kecil sering sekali liburan di kota Solo) gue butuh pelampiasan khusus untuk menghilangkan kesepian gue. Gue bertemu dengan manusia-manusia menakjubkan yang akhirnya mngajak gue untuk kembali bermusik dan kamus musikal gue pun makin berkembang, baik sebagai hasil dari pencarian gue sendiri, dari adik gue yang jenius, Dimas Wisnuwardono, dari sahabat-sahabat bermusik gue, dan dari (tentunya) sahabat yang kemudian menjadi kekasih gue saat ini, Wahyu Adi Pramardika.

Anyway, sebelum tulisan gue benar-benar berkembang menjadi tulisan yang penuh dengan ungkapan cinta (I’m in love with this guy, but like I’ve keep saying since the beginning, this is not a love story), terakhir gue akan jelasin kenapa gue begitu mencintai musik.

Selain karena gue tumbuh dewasa selama bertahun-tahun berdampingan dengan musik, selain karena keluarga gue hidup dengan diwarnai musik, dan selain karena calon suami gue adalah musik mania. Musik itu obat gue. Ketika beberapa tahun yang lalu gue mendadak diwajibkan untuk mengkonsumsi obat penenang untuk mengendalikan mania yang gue derita, salah satu sahabat gue mengingatkan tentang cerita-cerita di masa lalu gue ketika gue berkenalan dengan musik, mengingatkan ke orang-orang di masa lalu gue, dan mengingatkan bahwa tiap kali gue bermusik atau mendengarkan musik, mania gue akan reda dengan sendirinya. Dan dengan orang-orang ini gue ga merasa (terlalu) kesepian.

Musik itu obat gue. Gue pernah menulis hal ini sebelumnya. But really, satu-satunya yang bisa benar-benar menarik gue dari kegelapan, adalah musik.

Music is my lithium.

Well....Atau kurang lebih seperti itu hehehehe. Anyway, that's all for now - I really need to get some sleep - but let me leave you with a cheerful closing. Nite, nite :)


(Lithium – Nirvana)


No comments:

Post a Comment

tinggalkan pesan di sini...
tell me everything !!