Travel log. The Lone Traveler’s Journey Part 3 : Muntilan – Jogja – Solo – Jakarta.

Bagian akhir dari perjalanan liburan kami merupakan bagian yang paling kami nantikan. Meski awalnya kami ragu untuk menetap lebih lama dan sempat berkeinginan untuk kembali ke Jakarta lebih awal, namun ternyata kerinduan kami akhirnya menahan kami dan kami mengalami akhir minggu yang menyenangkan.

Terbangun pagi hari di Muntilan dengan udara yang begitu dingin menyebabkan sedikit malas buat kami untuk lekas bangun dan bersiap untuk berangkat menuju kota Solo. Kenapa kembali ke Solo? Ceritanya diawali semenjak beberapa bulan yang lalu ketika saya, Dika dan teman-teman lama kami semasa kuliah yang juga sesama pecinta fotografi memenuhi jajaran box komen di sebuah foto yang dipajang melalui Facebook oleh adik kelas kami. Dan akhirnya kami membuat kesepakatan untuk berkumpul bersama, hunting dan ngobrol bersama di kota Solo di akhir liburan sebelum kembali pada kesibukan masing-masing. Lihat saja obrolan kacau kami di sini.

Pagi itu kami berdua mengira bahwa teman-teman di Solo akan memulai hunting foto sore menjelang malam hari, maka kami berencana untuk berangkat ke kota Solo sekitar jam 10 pagi, itupun akhirnya mundur nyaris jam 11 karena ternyata persiapan kami untuk berangkat cukup merepotkan. Sampai akhirnya menjelang pukul 10 kami dihubungi beberapa teman melalui SMS yang menanyakan keberadaan kami karena mereka telah akan berangkat untuk hunting foto. Ups, sayang sekali, pikirku. Maka kami pun berangkat secepatnya, dengan menggunakan bis menuju Jogja yang akhirnya dilanjutkan dengan TransJogja menuju Stasiun Tugu untuk kemudian menuju Solo dengan kereta Prambanan Ekspress. Sayang sekali jalur yang kami pilih ini ternyata membuang waktu cukup banyak ketimbang jika kita menaiki bis langsung menuju Solo. Apalagi ternyata kereta menuju Solo baru berangkat pukul 1 siang. Maka kami pun akhirnya banyak membuang waktu sambil menunggu kereta di Stasiun Tugu dengan memotret beberapa hal yang menarik.

[Atas kiri: Dika membawa tas ransel gendut saya.
Bawah Kiri & jajaran foto di kanan: Dika sedang mengambil beberapa foto dan beberapa hasil fotonya hari itu]

Pukul 1 lewat kami pun meninggalkan Jogja dengan kereta Prambanan Ekspress dan tiba di Stasiun Purwosari Solo sekitar jam 2 lewat, dan melanjutkan perjalanan dengan bis dalam kota, Surya Kencana, untuk menyusul teman-teman kami yang telah lebih dulu menelusuri kampung-kampung kecil di kawasan sekitar Kraton Kasunanan Surakarta, terutama yaitu Kampung Baluwarti dan Pasar Klewer, dan saat itu sedang beristirahat di Mesjid Agung Kraton.
Ketika kami tiba kami baru saja tahu bahwa adik-adik kelas kami, yang juga tergabung di Klub Fotografi Arsitektur seperti halnya kami dulu, yang semula bergabung untuk hunting foto bersama ternyata telah lebih dahulu pulang, karena mereka telah lebih dulu memulai hunting foto sekeliling kawasan Kraton sejak pukul 6 pagi! (Hebat *tepuk tangan* saya jadi ingat ketika saya masih sebegitu bersemangatnya semasa kuliah dulu *terharu karena bangga*).Berkumpul kembali dengan teman-teman lama memang seru. Baru dalam hitungan menit kami bertemu entah berbagai kebodohan dan kekonyolan telah terjadi, dari obrolan serius sampai obrolan ngaco yang asal muncul hanya karena hal kecil muncul di hadapan kami. Setelah berbincang, bercanda dan berfoto bersama menggunakan Polaroid milik Adit, kami pun berjalan ke Kampung Kauman untuk mencari objek foto.

[Berjalan menuju Mesjid Agung Kraton Surakarta, langit mulai terlihat mendung dan sudah mulai sore]

Kampung Kauman, seperti halnya Kampung Kauman di Yogyakarta, adalah kampung yang terletak di kawasan sekitar Kraton Kasunanan Surakarta dan merupakan kampung yang dilestarikan sebagai kampung wisata karena disana terdapat banyak pengrajin dan pengusaha batik, karena itu di tiap sudut dari kampung ini kita dapat menemukan banyak ragam butik batik dan bahkan kita bisa juga menyaksikan sendiri proses pembuatan batik asli kota Solo ini. Yang menarik dari kampung ini, yaitu karena arsitektur dari rumah-rumah di dalam kampung ini masih sangat tradisional, kebanyakan diantaranya merupakan rumah-rumah tua dengan arsitektur tradisional Jawa atau dengan arsitektur khas pengusaha batik.

[Berjalan-jalan menelusuri Kampung Kauman.
Photo by: Wahyu Adi Pramardika & Dita Wisnuwardani]

[Potret Kampung Kauman Surakarta. Photo by: Dita Wisnuwardani & Wahyu Adi Pramardika]

[Potret Kampung Kauman Surakarta. Photo by: Wahyu Adi Pramardika]


[Kami pun sempat berpose untuk teman-teman, Pre-Wed katanya hehehe.
Photo by: Ade Mart Setiawan, Edit by: Dita Wisnuwardani, Kamera: Canon 350D]

Di kota Solo sendiri terdapat dua kampung serupa, selain Kampung Kauman ada juga Kampung Batik Laweyan yang kawasannya lebih luas daripada Kampung Kauman dan letaknya lebih ke Barat.

[Kampung Laweyan dan Kampung Kauman Solo]

[Beberapa potret yang saya ambil satu tahun yang lalu ketika berada di Kampung Laweyan
Talent: Dimas Wisnuwardono]

Ketika sore hari telah terlewati dan waktu Magrib menjelang maka kami pun bergerak meninggalkan Kampung Kauman dan sepakat untuk mencari makan di Galabo. Galabo atau Gladak Langen Bogan adalah pusat kuliner yang menyajikan beragam makanan khas kota Solo dan sekitarnya yang terletak di Gladak, yaitu di persimpangan arah masuk menuju kawasan Kraton Kasunanan Surakarta, menggunakan sepanjang jalan di antara pusat perbelanjaan Beteng Trade Center dan Pusat Grosir Solo dengan Benteng Vastenburg.

[Berjalan menuju Galabo]

Di Galabo ini kami memutuskan untuk menyantap Sate Kere. Dalam bahasa Jawa, kata Kere itu berarti menggambarkan kondisi “tidak memiliki uang“, dan sesuai namanya maka pada umumnya sate ini dijual dengan harga yang sangat murah dan dengan tampilan yang sangat sederhana, misal biasanya dijual dengan cara digendong di kepala oleh ibu-ibu penjual keliling atau dengan gerobak keliling kampung. Sate Kere ini biasanya terdiri dari daging dan jeroan sapi atau ayam dan kadang tercampur pula di dalamnya sate apus, atau sate yang terbuat dari tepung gandum yang diberi bumbu dan dibentuk seperti daging (dalam bahasa Jawa, “apus” berarti palsu atau bohong).

Setelah makan singkat kami tetap duduk sambil mengobrol dan merokok di tempat ini hingga lewat jam 7, kemudian kami memutuskan untuk berjalan-jalan mengunjungi Ngarsopuro. Ngarsopuro terletak di sepanjang jalan penghubung antara Citywalk Solo di Jalan Slamet Riyadi dengan pintu masuk Puro Mangkunegaran, yang menjadi kawasan yang menarik dan seringkali dimanfaatkan sebagai pusat kegiatan para seniman dan pedagang kota Solo, sebagai hasil restorasi dari kawasan Pasar Triwindu. Pada Ngarsopuro ini diadakan Night Market setiap Sabtu Malam, dan teman-teman lama semasa kuliah kami yang berkarya melalui Helo Solo selalu ikut serta dalam Night Market ini. Dan khusus malam ini, Adit beserta teman-teman kami yang lain dari komunitas fotografi HoreFotoHore | Photography memajang karya mereka di stand yang sama. Ditambah lagi karena Mas Purwo, senior kami yang memanasi kami untuk berkumpul dan mengadakan reuni kecil di akhir minggu ini, beserta beberapa adik kelas yang tidak sempat kami temui siang tadi telah menyatakan bahwa akan datang ke Night Market Ngarsopuro malam ini, membuat kami memutuskan untuk menuju kesana sebelum acara “ngobrol sambil ngopi sampai pagi” malam nanti.

[Ngarsopuro]

[Keunikan di Ngarsopuro - hiasan-hiasan dari sangkar burung yang dijadikan wadah untuk lampu penerang jalan]

Night Market Ngarsopuro malam itu begitu ramai, dan di tengah keramaian itu kami berkumpul dengan teman-teman lama yang lain. Acara dilanjutkan dengan foto bersama menggunakan kamera polaroid Adit, bercengkrama dengan teman-teman dan adik-adik kelas kami. Tidak terlalu lama kami berkumpul disana, ketika mas Purwo yang baru saja tiba di kota Solo mengajak teman-teman kami untuk makan malam di Bebek Pak Slamet (ini tempat makan favorit calon suami saya dan teman-teman lain semasa kuliah dulu), maka kami pun berpisah di tempat. Untuk beberapa lama saya dan Dika berjalan-jalan melihat-lihat segala macam stand dalam Night Market itu, mengambil beberapa foto kemudian kami pergi menuju rumah keluarga saya di Sambeng untuk menjumpai Om Ayik.

Rumah Sambeng begitu sepi karena memang Om tinggal di rumah yang besar itu sendiri. Seperti biasanya, obrolan bersama Om Ayik selalu seru. Bahkan Dika sampai keasikan mengobrol bersama Om membicarakan segala macam topik, dari yang paling sederhana hinga hal-hal yang rumit seperti thesis almarhum Eyang Kakung yang begitu menarik dan penuh pengetahuan baru. Setelah ahirnya menerima SMS yang mengabari bahwa teman-teman telah berkumpul kembali dan sambil setengah memaksa Dika untuk pergi, maka kamipun pamit untuk menyusul teman-teman kami (huhu maaf ya sayang).

Waktu itu jam menunjukkan beberapa menit melewati pukul 10 malam ketika kami menyusuri Jalan Slamet Riyadi dengan mengendarai motor teman kami, Hallala. Kami langsung menyusul teman-teman yang telah berkumpul di Kopi Kupas, yaitu coffee-house milik senior kami di kampus dulu yang terletak di Jalan Bhayangkara, di kawasan Tipes. Tempat minum kopi ini memang selalu menjadi tempat pertemuan kami semenjak semasa kuliah dulu. Bahkan ketika saya telah pindah di Jakarta tahun 2008 yang lalu dan Dika masih berada di kota Solo, kami pun akan pergi ke Kopi Kupas ini berdua saat saya “pulang” ke Solo untuk berlibur di akhir pekan.

Berkumpul bersama dengan teman-teman baik kami, mengobrolkan berbagai topik dan bercanda bersama sambil minum kopi dan merokok, melepas kerinduan sambil “menyegarkan diri” setelah demikian lama kami harus berkutat dengan pekerjaan yang begitu berat dan melelahkan, malam itu terasa begitu spesial untuk kami semua. Senang dan begitu ringan rasanya bisa mengobrol santai dan tertawa lepas bersama teman-teman lama. Kantuk dan lelah pun tidak terasa, hingga waktu terus mengalir tanpa sadar dan kami baru meninggalkan tempat itu pada pukul 2 pagi ketika coffee-house itu akan tutup.

[Kebersamaan yang kami rindukan]

[Berbagai karya foto dari senior dan teman-teman Klub Fotografi Arsitektur UNS terpajang di dinding-dinding Kopi Kupas]

[Bebas berdiskusi dan bebas tertawa lepas]

Malam itu untuk mempermudah transportasi dan menghemat tenaga maka saya memutuskan untuk ikut rombongan teman-teman dan Dika pulang ke kawasan kampus. Malam itu sesuai keputusan awal Dika akan menginap di kontrakan Hallala bersama teman-teman yang lain (FYI, teman-teman yang berkumpul malam ini termasuk calon suami saya memang dulu semasa kuliah selain memiliki hobi dan kegiatan yang sama, mereka juga tinggal di satu rumah kontrakan yang sama, dan hal itulah yang mendekatkan mereka meski semuanya sebenarnya berlainan angkatan, sementara saya yang juga memang memiliki hobi dan kegiatan yang sama dengan mereka, belum lagi karena memang saya dan Dika semenjak 7 tahun yang lalu memang sering melakukan beragam hal bersama maka saya pun menjadi sangat dekat dengan mereka. Mereka pun bahkan tetap merasa nyaman dengan adanya saya meski saya satu-satunya perempuan malam itu hehehe), dan saya sesuai rencana akan menginap di kos Westi, adik kelas kami sesama anggota Klub Fotografi Arsitektur (KFA). Setelah mampir sebentar di kontrakan Hallala, Dika lalu mengantar saya ke kos Westi dimana saya kemudian langsung beristirahat melepas lelah.

Saya terbangun pukul 7 pagi ketika Westi bersiap untuk pergi ke acara pernikahan teman seangkatannya. Saya pun bergegas untuk merapikan barang-barang saya dan bersiap pergi. Pukul 9 pagi Dika menjemput saya untuk mencari sarapan pagi bersama. Sebelumnya kami mampir kembali ke kontrakan Hallala untuk menitipkan ransel gendut saya kemudian kami menelusuri kawasan kampus kami (Universitas Sebelas Maret Solo atau yang biasa disebut UNS) untuk mencari sarapan sambil sedikit bernostalgia. Area belakang kampus telah banyak berubah, ketika dulu di balik tembok belakang kampus terdapat banyak berjajar toko-toko kecil yang menjual makanan atau menjual pulsa telepon, dan berbagai tempat foto copy yang bisa membantu para mahasiswa untuk menyelesaikan tugas, kini toko-toko kecil itu telah tergusur dan tembok itu tampak bersih. Sementara di seberangnya terdapat pusat aktivitas yang lebih rapi sebagai gantinya. Setelah berputar dan berkeliling selama beberapa waktu akhirnya kami menemukan warung soto khas Solo jauh di belakang kampus. Sarapan yang hangat dan cukup segar untuk pagi yang sejuk dan dingin. Dan yang paling menyenangkan dan membuat kami rindu adalah, makanannya murah sekali, saudara-saudara!! Mau tahu seberapa murahnya makanan di kota Solo? Pagi itu kami memenuhi perut kami yang kosong dengan dua porsi nasi – soto daging, satu plastik kecil kerupuk rambak, dua potong gorengan dan dua gelas teh hangat, dan semuanya hanya menghabiskan Rp. 10.500,- !!! (ini bukan untuk masing-masing orang, tapi untuk kami berdua!).

[Warung Soto Solo di belakang kampus]

Setelah kenyang dan masih yakin bahwa teman-teman yang lain belum terbangun (ternyata teman-teman di kontrakan masih melanjutkan mengobrol hingga nyaris jam 4 pagi), maka saya dan Dika memutuskan untuk meneruskan menelusuri kampus dan mampir ke kampus Arsitektur, tempat kami menimba ilmu dulu. Nostalgia yang menyenangkan, sayang hari ini adalah hari Minggu sehingga kami tidak bisa bernostalgia dengan maksimal karena gedung dikunci dan kantin tempat kami dulu biasa nongkrong bersama hari itu tutup. Tapi benar-benar senang melihat kampus kami lagi dan mengingat bagaimana dulu kami beraktivitas bersama disini.

[Kampus Arsitektur UNS tercinta. Photo by: Wahyu Adi Pramardika]

[di spot inilah dulu kami biasa duduk berteduh sambil mengobrol atau latihan teater bersama.
Photo by: Dita Wisnuwardani]

Setelah puas bernostalgia dan langit mulai mendung kami pun kembali ke kontrakan. Pada saat kami tiba ternyata Ade telah pergi keluar untuk ke kos teman kami, Dias, untuk mencari sarapan bersama. Setelah menunggu hujan reda dan teman kami Hallala telah terbangun dari tidur maka kami bertiga pun menyusul Ade dan kawan-kawan yang sedang bersarapan pagi di sebuah warung makan di belakang kampus. Di warung ini kami pun melanjutkan obrolan santai nan konyol kami seperti malamnya, dengan ditambah kehadiran mas Alfian. Di tengah obrolan kami yang seru tiba-tiba tampak satu rombongan yang kami kenal datang untuk makan di warung yang sama. Rombongan itu ternyata adalah teman-teman kami juga, yaitu kelompok musik Etno Ensemble dari kampus ISI (Institut Seni Surakarta) yang bertetanggaan dengan kampus kami dan memang sebagian personilnya kami kenal dengan baik. Senangnya. Sebuah reuni yang tidak terduga.

Setelah teman-teman kami selesai sarapan kami pun kembali ke kontrakan Hallala, mengobrol dan bersantai bersama sambil berusaha memutuskan kemana tujuan kami hari itu. Baru ketika siang hampir berganti sore kami pun beranjak dari malas kami dan berombongan menuju Pasar Triwindu, untuk melihat-lihat barang-barang antik yang ada di pasar itu sambil mengambil beberapa foto.

[Menelusuri Pasar Triwindu.Photo by: Wahyu Adi Pramardika & Dita Wisnuwardani]

[Wajah Triwindu.Photo by: Wahyu Adi Pramardika & Dita Wisnuwardani]

Sore itu Solo diguyur hujan, kami berteduh di halaman Pasar Triwindu sambil menyantap Wedang Dongo, dan ketika hujan sudah cukup reda kami pun kembali melanjutkan perjalanan kami dan akhirnya berhenti di sebuah wedangan kecil yang kami temui di tengah jalan tepat ketika hujan kembali turun. Wedangan atau hik adalah santapan murah yang menjadi khas di kota-kota di Jawa Tengah terutama Solo, menyajikan nasi dalam bungkusan-bungkusan dan porsi yang kecil yang biasa disebut dengan Nasi Kucing, beserta lauk pauknya yang berupa gorengan, atau berbagai macam sate-sate yang terdiri dari daging ataupun jeroan, dan tidak ketinggalan minuman hangat seperti jahe, kopi tubruk dan teh. Wedangan adalah sebuah tradisi yang telah menjadi kebiasaan kami sejak dulu dan merupakan hal yang setiap saat kami rindukan. Sebagai anak-anak kos kami nyaris setiap malam selalu makan di wedangan-wedangan murah di sekitar kampus atau di tengah kota. Wedangan-wedangan kecil ini dapat ditemui dimana saja, dan patut dicoba setiap kali mengunjungi kota Solo. Mungkin seandainya kami tidak dihentikan oleh hujan maka kami akan kembali ke kawasan kampus untuk nongkrong di Wedangan Prau atau Wedangan Kapal, yaitu wedangan yang selalu ramai yang terletak di gerbang masuk kawasan kampus ISI yang ditandai dengan perahu raksasa di bagian atas gerbangnya. Ketika makan, di tengah melepas rindu sejenak Dika, calon suamiku tercinta, berkata “Dulu hal semacam ini menjadi keseharian kita. Sekarang justru menjadi liburan buat kita. Sekarang pertanyaannya bagaimana menjadikan supaya semua ini kembali seperti hal-hal yang biasa kita lakukan dulu?“. Sebuah pernyataan yang memang selama ini menjadi pertimbangan kami berdua. Kami ingin sekali kembali hidup di Solo, dengan kesederhanaannya, dengan segala pergerakannya yang santai dan menyenangkan. Mudah-mudahan bisa terwujud secepatnya.

[Hidangan wedangan - maaf hasil fotonya agak blurry]

Ketika hujan berhenti dan kami selesai makan kami pun berombongan kembali ke kontrakan. Malam itu ada pertandingan sepak bola di televisi, sementara teman-teman dengan ramai menyaksikan pertandingan itu, saya dan Dika yang memang bukan penggemar sepak bola lalu bersama merapikan barang-barang dan beristirahat sejenak. Kami akan pulang ke kota Jakarta dengan kereta Argo Dwipangga tambahan khusus Lebaran malam ini pukul 21.30.
Sambil menunggu waktu pulang kami berdua duduk bersama di kamar Hallala dan mengobrol. Saya pun sempat melihat-lihat workshop kecil di sudut kamar yang dipenuhi dengan beragam alat-alat perlengkapan dan bahan pembuat fingerboard. Hallala dan Ade memang “atlet“ fingerboard sekaligus pembuat dan pengusaha fingerboard buatan sendiri yang dijual secara online. Lihat websitenya di sini.

[Fingerboard yang sedang dikerjakan Hallala]

Pukul 21.00 Hallala dan Dias mengantar saya dan Dika menuju ke Stasiun Solo Balapan. Kami pulang ke Jakarta malam itu dengan perasaan yang puas karena telah melewati masa-masa yang menyenangkan, berjumpa dengan teman-teman dekat dan berjanji dalam hati, bahwa kami akan segera “pulang“ ke kota Solo.

-end-

Travel log. The Lone Traveler’s Journey Part 2 : Jogja-Muntilan-Semarang-Muntilan

Terbangun di pagi hari di kota Yogyakarta, di rumah Om yang pagi itu sepi sekali. Karena kebiasaan saya sehari-hari maka saya dari pagi langsung mandi dan mempersiapkan peralatan saya yang akan saya bawa untuk pergi. Hari ini saya telah berencana untuk bepergian bersama Sita, adik sepupu saya. Sementara di waktu yang sama Dika, calon suami saya, akan menghabiskan waktu bersama keluarganya untuk bermain di pantai. Sebenarnya Dika telah mengajak saya untuk ikut serta, namun mengingat kapasitas mobil tidak memadai untuk tambahnya penumpang, belum lagi jika Dika harus membuang waktu dan tenaga untuk menjemput saya terlebih dulu, maka kami memutuskan supaya saya tidak ikut serta dan akan meluangkan waktu saya sendiri di Jogja.

Saya dan Sita baru pergi meninggalkan rumah di siang hari. Tujuan pertama adalah Jalan Matraman, dimana Sita hendak membeli beberapa DVD yang sudah beberapa waktu dia inginkan. Sita baru saja sembuh dari sakit dan saya yakin saat itu dia sudah cukup bosan karena harus terus istirahat di rumah, bahkan pada waktu hari Lebaran. Dari Jalan Matraman kami menuju Shopping. Tempat yang disebut “Shopping” ini sebenernya adalah eks kawasan Shopping Center dimana sekarang kawasannya telah dijadikan Taman Pintar. Di hari libur ini Taman Pintar dipadati oleh para pendatang dari luar kota, keluarga dan anak-anak yang sedang berlibur. Bukan taman ini yang menjadi tujuan kami, melainkan pusat penjualan buku bekas yang berada di baliknya. Saya dan Sita sejak kecil senang membaca, dan kami menelusuri tiap sudut pusat buku bekas itu untuk menemukan buku-buku yang menarik. Pada saat ini saya jadi merindukan calon suami, karena soal buku, dia selalu punya info yang jauh lebih lengkap daripada saya dan bisa memilih buku-buku mana yang benar-benar bagus dan menarik.

Setelah membeli beberapa buku yang menarik kami pun melanjutkan perjalanan. Awalnya kami berencana untuk ke kraton dan mengambil beberapa foto disana, tapi akhirnya kami hanya berputar mengelilingi kraton dan alun-alun, kemudian memutuskan untuk hunting foto di kawasan Kauman. Kampung Kauman adalah kampung asli yang berada di sekitar Kraton Yogyakarta, yang dijadikan sebagai kampung wisata dengan banyaknya pengrajin batik dan pusat-pusat batik asli Jogja yang berada di kawasan kampung ini. Melewati jalan-jalan kecil nan berliku di Kampung Kauman ini saya menemukan beberapa spot-spot yang menarik untuk saya foto.

[Kawasan sekitar Kraton dan Kampung Kauman]

Tapi hal yang paling menarik adalah ketika Sita memperkenalkan saya pada beberapa tembok besar berbentuk benteng yang sebenarnya telah sering saya lihat tiap kali mengunjungi kota Yogyakarta ini, namun baru kali ini saya mengerti apa sebenarnya tembok-tembok itu. Pada satu sudut kampung kami menemukan tangga menaiki puncak salah satu tembok. Tembok ini bernama Pojok Benteng, dengan bentuk serupa seperti pojokan benteng atau istana yang sering kita lihat dari gambar atau film-film epic dimana bagian dari bangunan atau kawasan ini kemudian dipergunakan sebagai tempat pengawasan keamanan lingkungan.

[Puncak dari Pojok Benteng]

Kemudian tembok besar yang berada melintang di jalan raya ini adalah Plengkung. Tembok ini pasti banyak dikenal karena terowongan kecil yang tercipta serta adanya jalan raya di bawahnya, merupakan terowongan yang banyak dilintasi kendaraan dan pasti akan dilalui oleh siapapun yang hendak menuju alun-alun atau pusat kota. Menurut Sita, Plengkung yang tampak seperti sudut utama dari kumpulan Pojok Benteng yang tersebar di beberapa tempat di Jogja ini merupakan titik tengah, dan yang unik dari Plengkung ini adalah bagian puncaknya, yang konon merupakan jalur khusus bagi kereta kencana istana untuk berlalu lalang dalam istana. Kami sempat ingin menelusuri jalur tersebut sambil berjalan kaki karena adanya rasa ingin tahu kemana arah jalur itu dan dimana ia berakhir, tapi kemudian mengurungkan niat itu karena kami tidak bisa meninggalkan sepeda motor seenaknya di pinggir jalan, selain itu kami melihat salah satu ujung jalur tersebut telah terpotong oleh adanya deretan rumah-rumah penduduk.

[Plengkung dan puncak Plengkung]

[Terowongan di bawah Plengkung dan lalu lintasnya yang ramai]

Meninggalkan Plengkung tadi kami lalu kembali menelusuri jalanan kota Jogja untuk mencari spot hunting foto, melewati Jalan Malioboro yang dipadati pendatang serta masyarakat lain yang sibuk berbelanja cinderamata dan batik khas Jogja, melewati pusat batik dan barang-barang antik kesukaan saya, Mirota Batik. Saya mengurungkan niat saya untuk berbelanja sore itu bukan hanya karena adanya keramaian yang sedikit membuat saya dan Sita menjadi kurang nyaman, namun juga karena mempertimbangkan petualangan saya yang masih berlanjut dan mengingat ransel gendut saya tidak akan mungkin menampung tambahan barang lagi. Kami pun kemudian pulang.

Esok harinya Dika menghubungi saya lewat SMS, mengabari bahwa ia dan ibunya akan pergi ke Semarang mengunjungi rumah kakak perempuan tertuanya dan jika ada kesempatan akan mengunjungi Mbah Kung nya (Kakek Dika) yang saat itu sedang pergi ke Pekalongan, dan Ibu meminta saya untuk ikut. Maka saya pun bersiap dan menanti calon suami saya itu untuk menjemput. Beberapa jam sebelum waktu makan siang tiba, Dika tiba untuk menjemput saya dan kami pun berangkat kembali ke Muntilan. Ketika tiba di rumah Muntilan ternyata kondisi disana saat itu sedang ramai, maka kami – Saya, Dika dan ibu Dika – baru bisa berangkat menuju Semarang sekitar pukul 2 siang. Dengan berjalan kaki kami berlari-lari kecil menuju terminal bis yang letaknya tidak jauh dari rumah, dan kami harus bergegas karena langit telah gelap akibat mendung dan gerimis mulai turun. Hujan turun lumayan deras ketika kami akhirnya mendapatkan bis. Dengan bis kelas ekonomi kami menuju Magelang untuk kemudian berganti bis yang lebih besar langsung menuju Semarang. Arus lalu lintas saat itu cukup padat, dengan adanya arus para pemudik yang masih ramai dan hujan deras melanda sepanjang perjalanan, kami baru tiba di Semarang ketika waktu Magrib tiba. Kami turun di daerah Banyumanik dan disana Mba Itha, kakak perempuan Dika, bersama suami dan anak perempuan bungsunya, Anggit, menjemput kami.

Siang hari sebelumnya menjelang keberangkatan kami dari Muntilan, Dika telah memperingatkan saya dengan menantang, “Ayo coba tebak-tebakan, nanti malem pasti kita makan steak hehe“. Dan ketika kami telah tiba ternyata Mba Itha langsung mengajak kami ke New Planet, sebuah restoran khas makanan Barat di daerah Kampungkali Semarang, yang menyajikan steak dan seafood sebagai menu utama.

[New Planet – letaknya di Semarang]

[Mba Itha bersama kedua anaknya, Anggit dan Fani serta Ibu Dika]

Makan malam yang seru sekali, sambil saya bertukar cerita bersama Mba Itha dan dihibur dengan kepolosan kedua keponakan calon suami yang begitu cerdas, nakal dan menggemaskan. Tepat ketika makan malam nyaris berakhir, Ade – sahabat kami semasa kuliah yang kini bekerja di Semarang dan telah kami hubungi sejak pagi hari – datang untuk menemui saya dan Dika. Karena sayang jika obrolan kami harus terpotong, maka Mba Itha dan suaminya justru mengajak Ade untuk ikut bersama kami ke rumah mereka dan melanjutkan reuni kecil kami disana.

Rumah Mba Itha terletak di daerah Pedurungan Tengah, cukup jauh dari kos Ade di Sampangan sebenarnya, namun berkat rayuan gombal kami akhirnya dia mau juga untuk ikut. Rumah Mba Itha sekeluarga saat ini sedang dalam proses renovasi, karena itu semuanya serba terbuka dan baru ada dua kamar tidur yang bisa digunakan untuk beristirahat. Ketika baru tiba secara otomatis kami semua berkumpul bersama di ruang tamu untuk berbincang sambil minum minuman hangat. Tapi semakin malam akhirnya hanya kita bertiga (saya, Dika dan Ade) yang bertahan dan berbincang, seperti dulu di masa ketika kami masih kuliah di kota Solo, ngobrol sambil ngopi sampai pagi. Malam itu saya menggambarkan pertemuan kami melalui status di Facebook yang ternyata akhirnya banyak mengundang komen dari teman-teman lama yang juga ingin berkumpul dan reuni kembali bersama.

[status Facebook malam itu :
“Semarang.deewardani.deidikaaka.ademart.kopi.rokok.kamera.obrolan kerjaan+ra mutu“.]

[Mengobrol bersama Ade. Photo by: Wahyu Adi Pramardika]

Obrolan malam itu berakhir pukul 2 pagi, ketika Ade pamit pulang untuk beristirahat karena esok pagi dia masuk kerja. Dan keesokan paginya saya terbangun ketika Dika bersama Mba Itha dan suaminya sedang menelusuri rumah yang sedang dibangun itu. Pagi hingga siang kami menghabiskan waktu di rumah, dengan menyantap masakan Mba Itha dan mengobrol tentang banyak hal. Saya pun banyak menemani si kecil Anggit bermain sebelum pergi hari itu. Siang hari akhirnya kami pergi mengunjungi kerabat calon suami, yaitu Mbah Muda (menurut informasi dari Mba Itha dan Dika, mbah ini adalah ibu angkat dari Ibu). Dan ketika dikabari bahwa Mbah Kung telah sampai kembali di Semarang, maka kita pun langsung mengunjungi beliau sebelum akhirnya makan siang dan diantarkan ke pusat Bis Patas antarkota yang akan mengantarkan kita pulang kembali ke Muntilan.
Kami sampai di kota Muntilan kembali selepas Magrib dan lagi-lagi kami disambut hujan. Kali ini kami dijemput oleh Mas Andhi, kakak laki-laki Dika yang selama kami berada di Semarang sempat mengunjungi keluarga besar sang istri di Jawa Timur.

Awalnya saya dan calon suami berencana untuk berangkat ke kota Solo keesokan harinya, tapi kemudian rencana itu kami batalkan karena beberapa alasan. Pada hari Jumat pagi rombongan keluarga Mas Andhi berpamitan untuk pulang kembali menuju Lampung. Sebelumnya kami semua diundang Mba Cik – kakak perempuan Dika yang termuda – untuk sarapan bersama di warung Mie Ijo buatannya yang terletak tidak jauh dari rumah. Setelah beramai-ramai makan akhirnya rombongan Mas Andhi berangkat dan kami kembali ke rumah. Awalnya kami berencana ingin berkeliling kota Muntilan dan hunting foto di Ketep hari itu selepas Jumatan, namun rencana kami batal karena hujan turun sepanjang hari. Bahkan dingin yang begitu menusuk di malam hari pun mengurungkan niat kami untuk pergi kemana pun, dan hari itu pun kami manfaatkan untuk banyak duduk berdua di rumah, mengobrol, online sambil minum kopi panas dan beristirahat.

Sekian dulu catatan perjalanan saya bagian kedua. Hal yang menyenangkan lainnya ada di bagian ketiga. Ciao !

Travel log. The Lone Traveler’s Journey Part 1 : Jakarta – Jogja – Solo – Jogja – Muntilan – Jogja

Helloooo…apa kabar semua ?
Akhirnya kembali lagi ke blog ini sehabis liburan. Kali ini saya akan coba bercerita tentang ‘liburan’ saya yang lalu. Seminggu yang lalu saya melakukan sebuah perjalanan yang berbeda dari sebelumnya. Jika hanya sekedar jalan-jalan mengunjungi lokasi-lokasi wisata bersama dengan keluarga atau bersama teman-teman dengan tujuan untuk hunting objek foto atau belajar arsitektur, semua telah saya lakukan dan saya jarang sekali membuat travel log. Biasanya hasilnya hanya berupa foto-foto hasil jepretan selama perjalanan yang terpajang di pameran atau cerita-cerita di jurnal yang tidak saya publikasikan. Kali ini perjalanan ini akan saya ceritakan, mungkin untuk lebih gampangnya saya bagi ke beberapa bagian.

This is part 1….
Seperti yang saya bilang sebelumnya, perjalanan kali ini berbeda. Pertama, karena ini adalah pertama kalinya saya travel sendiri. Bukan, kalau hanya sekedar jalan-jalan dan keluar kota sendiri tanpa keluarga atau teman sudah sering saya lakukan. Tapi kali ini pergi tanpa mengajak partner setia saya, yang selalu menemani kemanapun saya pergi (meski hanya pergi ke kantor). Partner saya ini adalah……………Terry !!

[Terry, my travel partner and loyal companion]

Haha…oke sekarang kembali serius…biar saya mulai bercerita :D
Semua berawal ketika di bulan puasa. Keluarga saya yang berasal dari kota Solo memutuskan untuk merayakan Lebaran di Jakarta bersama keluarga Eyang Uti tercinta, yang sebenernya ada kakak perempuan dari almarhum Eyang Kakung dari pihak Ibu saya, di rumahnya di Imam Bonjol, Menteng. Jelas saya ga terima dongs…sebagai alumni sebuah unversitas negeri asal Solo yang begitu rindu dengan kota itu dan setahun ini menunggu datangnya libur yang cukup untuk bisa “pulang” ke Solo, saya langsung protes dan menyatakan untuk pergi liburan ke Solo sendiri tanpa keluarga sehabis Lebaran. I need the vacation, and I need to see my “home city”. Niat saya yang begitu kuat itu saya sampaikan ke ibu dan calon suami, dan kemudian keduanya justru memberi tawaran yang sama, “mau sekalian ke Muntilan?”.

Muntilan adalah sebuah kota kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang berada pada jalur perjalanan wisata menuju Candi Borobudur dari Yogyakarta. Kota Muntilan ini adalah kota kelahiran calon suami saya (ehem…ehem…).
Setelah tawaran terlontarkan maka saya terus merencanakan soal jalan-jalan saya selama liburan, dan kalau bisa bersama calon suami. Tapi hingga detik terakhir menjelang hari Lebaran saya belum benar-benar memastikan keberangkatan saya karena masih kurangnya satu “surat ijin” yang belum keluar, ijin dari Bapak. Maka ketika akhirnya tepat satu hari menjelang hari Lebaran Bapak memberi restu untuk pergi, saya pun langsung mencari tiket yang masih available untuk membawa saya menuju kota kecintaan saya itu. Dan dua hari setelah Lebaran, perjalanan itu dimulai.

Tanggal 12 September 2010, pukul setengah 5 pagi saya meninggalkan rumah dan meluncur langsung menuju Bandara Soekarno-Hatta untuk kemudian meninggalkan kota Jakarta dengan penerbangan paling pagi pesawat Lion Air dengan tujuan kota Yogyakarta. Saya memilih untuk berangkat dengan armada pesawat ini dengan pertimbangan untuk menghemat waktu dan biaya. Menurut biro yang saya hubungi ketika hendak mencari tiket, pesawat termurah langsung menuju Solo dari Jakarta yang termurah berangkat setelah jam 7 pagi dengan biaya sekitar 450 ribu, kemudian dari bandara Adi Soemarmo menuju rumah tinggal keluarga di Solo hanya bisa dicapai dengan taxi dan biasanya akan membutuhkan biaya sekitar 25 ribu rupiah (ini jika jalanan lancar, tapi mengingat saat ini sedang Lebaran maka ada kemungkinan jalur yang akan saya lewati dipadati kendaraan bermotor). Sementara dengan armada yang saya Lion Air ini saya akan menghabiskan 325 ribu rupiah untuk tiket pesawat, 9000 rupiah untuk kereta Prambanan Ekspress menuju Stasiun Solo Balapan dan 2500 rupiah menuju rumah. Hemat dan lebih seru kan, hehehe…

Penerbangan pagi itu ternyata tepat waktu. Sempat agak gugup karena biasanya ketika saya bepergian keluar kota sendiri saya memilih untuk menaiki kereta atau bis. Tapi syukurlah saya ga salah masuk boarding station, apalagi salah naik pesawat hehehe. Pukul 06.25 pesawat take off meninggalkan bandara Soekarno-Hatta dan mendarat di Bandara Adi Sucipto 50 menit kemudian. Sampai di bandara saya yang hanya membawa sebuah ransel gendut dan tas tenteng gratisan dari tempat fitness dimana saya biasa berolahraga (ceritanya kaya disponsori) langsung melesat keluar menyeberang jalan ke Stasiun Maguwo, untuk menanti kereta Prambanan Ekspress yang akan membawa saya ke kota Solo. Sampai di stasiun yang sepi itu saya baru menyadari bahwa kereta baru akan tiba kurang lebih satu jam terhitung sejak saya tiba, maka saya pun duduk untuk menanti loket tiket buka, sambil melihat sekeliling dan beberapa kali meng-update status di twitter untuk menghilangkan rasa bosan.

[Tiket kereta Prambanan Ekspress,
harganya telah naik 1500 rupiah sejak saya meninggalkan kota Solo dan Jogja beberapa tahun yang lalu]

Kereta datang pukul 08.50 dan saya pun dibawanya menuju Solo. Dan akhirnya, nyaris satu jam kemudian….saya tiba di kota Solo.

[Welcome to Solo]

Seperti tahun-tahun sebelumnya setiap kali saya “pulang” ke kota ini, di pintu keluar stasiun telah tampak bergerombol para tukang becak yang menanti penumpang, yaitu mereka yang baru datang dari luar kota dengan kereta yang baru tiba. Saat saya sedang melangkah keluar salah seorang tukang becak menghampiri saya (sambil sedikit mengejar karena langkah saya yang keberatan tas ternyata masih cukup cepat) dan menawari tumpangan. Sambil lalu saya bertanya, “teng sambeng pinten pak?” (“ke sambeng berapa pak?”), dan si bapak becak menjawab, ”pun gangsal welas mawon,mbak.harga lebaran niki mbak” (“cukup lima belas ribu aja mbak.harga lebaran ini mbak”). Heh? Ding dong…mahal sekali! Padahal dari stasiun sampai ke Sambeng (daerah rumah keluarga saya) semisal kuat jalan kaki pun bisa sampai. Jelas saya langsung menolak tawaran si bapak dan terus berjalan keluar stasiun untuk menunggu bis.
Sayangnya pagi itu Solo sangat panas dan bis yang saya tunggu ternyata sudah terlanjur lewat. Akhirnya saya berjalan sampai beberapa meter ketika di depan sebuah warung ada tukang becak yang menawari saya tumpangan dan mau memberi harga 4000 rupiah sampai ke rumah. Tak apalah daripada saya semakin lama menunggu bis tiba dan lagipula saya hanya menambah 1500 rupiah dalam perkiraan ongkos perjalanan saya. Belakangan selama perjalanan yang singkat menuju rumah saya berbincang dengan si tukang becak dan ternyata si bapak tinggal tidak begitu jauh dari rumah saya di Sambeng, pantas mau memberi harga normal hehe (tetangga satu kampung!).

Sampai di rumah saya langsung sungkem untuk memberi ucapan Idul Fitri ke Om Ayik, adik laki-laki Ibu saya yang telah banyak membantu mengurus saya selama saya hidup di Solo masa kuliah dulu. Setelah mengobrol dan istirahat sejenak akhirnya saya minta Om untuk mengantar saya menuju makam keluarga besar Ibu di Bibis Luhur untuk mengunjungi makan almarhum Eyang Kakung dan Eyang Putri, serta Almarhumah Tante saya. Dari Bibis Luhur Om mengajak saya mengunjungi rumah istrinya, lalu dari sana saya memutuskan untuk pergi seorang diri untuk berjalan-jalan di Jalan Raya Slamet Riyadi. Jalan utama ini dipenuhi aktifitas sehari-hari seperti biasanya di kota Solo ini, saya tidak banyak “merekam“ kegiatan saya disini karena masih ingin menikmati suasana kota Solo sebisa mungkin. Ada banyak kerinduan yang saya rasakan terhadap kota ini.

Ketika mulai terasa lapar dan sore mulai menjelang, langit pun mulai gelap. Akhirnya saya memutuskan untuk mencari makan dan memilih untuk menyantap makan siang di Kopitiam Oey milik Bondan Winarno di Jalan Perintis Kemerdekaan. Disini saya menunggu Om saya untuk menjemput, lagipula Om saya juga saat itu sedang ingin mencari makan, jadi sekalian kan.
Selesai makan kami pulang, dan saya meneruskan sore itu untuk membersihkan kamar tidur saya yang sudah saya tinggalkan selama 1 tahun lamanya, memilah beberapa barang yang ada, siapa tahu ada yang bisa saya bawa pulang ke Jakarta atau bisa saya buang. Dan saya justru menemukan beberapa berkas lama saya, tugas kuliah serta gambar, poster dan maket Tugas Akhir saya *terharu*. Rencana awal saya untuk makan malam di wedangan khas Solo terpaksa dibatalkan karena turun hujan, selain itu menurut info Om saya, wedangan Pak No yang menjadi wedangan favorit saya selama tinggal di rumah itu dulu belum mulai berjualan karena masih waktunya libur Lebaran. Malam itu saya dikabari calon suami bahwa dia akan menjemput saya untuk diajak ke rumahnya esok hari, maka saya pun langsung beristirahat.

Pagi harinya pukul 08.45 saya berangkat dengan kereta Prambanan Ekspress yang berangkat pukul 08.52 WIB dari Stasiun Purwosari Solo dan tiba nyaris satu jam kemudian di Stasiun Tugu Yogyakarta. Sampai di stasiun tujuan saya duduk di lobby depan loket pembelian tiket kereta untuk menunggu dijemput Dika, sang calon suami dan pada saat itu ada kelompok gamelan khas Jawa yang sedang menghibur para pengunjung stasiun. Setelah tiba Dika mengajak saya untuk makan pagi (terlambat memang) bersama Irus, teman masa kecilnya yang tinggal di kota Jogja yang kebetulan merayakan ultahnya hari itu. Maka dengan berboncengan motor kami pun pergi meninggalkan stasiun dan mencari tempat yang nyaman untuk makan dan mengobrol bersama. Setelah berputar-putar beberapa waktu akhirnya kami memilih untuk berhenti di sebuah Restoran Iga Bakar yang terletak di daerah Jakal Km. 5. Resto sederhana ini cukup nyaman, meski sajiannya belum lengkap karena masih masa libur. Dan kami bisa mengobrol untuk beberapa waktu sebelum saya dan Dika melanjutkan perjalanan menuju Muntilan dan Irus kembali ke kosnya untuk melanjutkan pekerjaan.

[Di dalam gerbong khusus perempuan di kereta Prambanan Ekspress menuju Jogja]

[Berkumpul mengobrol sambil menyantap iga bakar di Jakal Km.5]

Saya dan Dika sampai di Muntilan siang hari, disambut dengan hangat oleh keluarganya, jujur saya merasa sangat amat grogi karena memang baru kali inilah saya bertemu keluarganya. Hari ini Om saya, Adik Bapak yang tinggal Yogyakarta mengirimkan SMS tentang beberapa lokasi di Muntilan yang merupakan pusat kuliner yang sangat menarik. Tapi hari itu telah dijadwalkan sebagai hari perkenalan saya dengan keluarga Dika, maka saya seharian itu menghabiskan waktu berbincang bersama Ibunya, Kakak-Kakaknya serta keponakannya yang lucu-lucu (FYI, calon suami saya ini adalah anak bungsu dari 4 bersaudara dan ketiga kakaknya telah berkeluarga, masing-masing memiliki 3 orang anak. Jadi bisa dibayangkan bagaimana ramainya rumah itu, meski kakak perempuan tertuanya bersama suami dan kedua anaknya telah pulang ke Semarang ketika saya tiba).

Satu hari yang menyenangkan. Saya cukup lega karena ternyata Ibunya ramah sekali (sepanjang perjalanan Jogja-Muntilan saya grogi banget). Selepas Magrib akhirnya saya pamit pada keluarga Dika. Mengingat hari itu adalah pertemuan pertama maka sangat tidak mungkin saya tinggal untuk bermalam di rumah Dika, maka saya pun kembali ke Yogyakarta untuk menginap di rumah Om Tetet, adik Bapak. Dika yang mengantar saya dengan motornya. Udara malam itu cukup dingin, terutama karena rumah Om terletak di Kaliurang, bagian dari Propinsi DI Yogyakarta yang merupakan dataran tinggi. Dan ditambah dengan gerimis hujan yang mulai turun tepat ketika kami mulai memasuki kawasan perumahan tempat tinggal Om. Sampai di rumah kami berjumpa dengan kedua adik sepupu saya yang ternyata telah menunggu seharian (Terjadi miskomunikasi ternyata. Karena Om dan Tante pergi seharian dan sebelum pergi hanya meninggalkan pesan, “mba Dita dateng lho hari ini, nanti menginap ya. Sampai di Jogja mungkin siang“). Sambil istirahat sejenak dan minum kopi, kami mengobrol dengan Hestu dan Sita, hingga Om dan Tante pulang. Dika pamit pulang ketika jam menunjukkan nyaris jam 10 malam dan baru sampai di Muntilan hampir tengah malam. Saya pun langsung beristirahat, mempersiapkan tenaga untuk melanjutkan petualangan kecil saya esok harinya.

Sekian bagian pertama. Bersambung di Travel Log bagian kedua ya.

want!

Ada yang berkenan dan cukup dermawan untuk membelikan saya atau calon suami saya dengan kamera LEICA yang cantik ini?
Leica M9 dengan 18 MP adalah kamera jenis Rangefinder pertama di dunia dengan menggunakan sensor Full-Frame 24×36 mm yang biasanya hanya kita bisa temukan di kamera DSLR kelas profesional.

Leica M9

pengen...... *puppy eyes*

keterangan lebih lanjut klik di sini

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H


"Mikul duwur, mendem jero, nrimo ing pandum, ojo dumeh"
- alm. R. Soeprapto

Ajaran dalam bahasa Jawa di atas adalah wejangan yang begitu kami kenal dari almarhum Eyang Kakung Soeprapto. Ajaran yang bijak itu selalu beliau sampaikan setiap kali seluruh keluarga besar berkumpul bersama di rumah kediaman Eyang dan keluarga, di Jalan Imam Bonjol, di kawasan Menteng Jakarta Pusat. Keluarga ku, yang merupakan keluarga dekat selalu ikut berkumpul bersama. Bahkan sudah dua tahun belakangan kami yang biasanya merayakan Lebaran di kota Solo justru ikut merayakan Lebaran bersama keluarga di Bonjol. Karena orang tua dari kedua orang tua ku sudah tiada, dan pihak yang tertua yang mesti di-sowan-i adalah Eyang Prapto yang merupakan kakak dari alm. Eyang Kakung kandung ku, Eyang Soeripto, orang tua dari Ibu ku.
Perayaan Hari Raya Idul Fitri tahun lalu mungkin menjadi perayaan yang tak terlupakan. Ketika di waktu itu Eyang Kakung yang sudah gerah atau sakit harus dirawat di Rumah Sakit Menteng tepat di hari raya, maka kami pun sowan ke Rumah Sakit dan merayakan Lebaran bersama Eyang di sana. Seminggu kemudian Eyang Kakung wafat, dan tahun ini kami berkumpul di rumah Bonjol sambil mengadakan pengajian peringatan 1 tahun wafatnya Eyang Kakung almarhum.


Lebaran tahun lalu bersama alm. Eyang Kakung Soeprapto di Rumah Sakit Menteng

Alm. Eyang Kakung Soeprapto bersama Eyang Putri dari dulu selalu menjadi panutan untuk aku dan keluarga dan selalu menumbuhkan rasa kagum, karena rukunnya kedua Eyang ini hingga hari tua. Ga jarang di acara keluarga ketika anak-anak atau cucu-cucunya bermain musik maka Eyang Kakung dan Eyang Putri akan berdansa bersama atau ikut bernyanyi. I really want to be like them on my old days :)

Alm. Eyang Kakung & Eyang Putri di hari ulang tahun Eyang Putri awal tahun lalu

Bulan puasa tahun ini memang berasa begitu cepat berlalu. Tapi sangat menyenangkan.
Pasti seua orang juga mengalami atau bahkan mengadakan sendiri yang namanya undangan buka puasa bersama. Bulan puasa akhirnya dijadikan sebagai kesempatan untuk lebih banyak meluangkan waktu bersama keluarga dan jadi pertemuan atau reuni dengan rekan-rekan lama. Begitupun dengan aku.

Buka puasa bersama teman-teman alumni SDN 09 Pagi Siemens Jakarta Timur


Tapi hal yang paling mengesankan, adalah bahwa puasa ini aku melewatinya bersama calon suami dan bahkan mendapat kesempatan untuk ikut dalam acaranya bersama teman-temannya :D


Reuni & buka puasa bersama Dika dan teman-teman sekolah dari Muntilan



Reuni & buka puasa bersama Alumni Univ. Sebelas Maret Solo (angkatan campuran)

Anyway...bulan ini penuh berkah buat aku. Dan besok aku masih akan merayakan Lebaran bersama calon suami (yipeee) plus sambil jalan-jalan, sekedar latihan untuk mudik sendirian dan pemanasan untuk travelling bulan depan.

Ceritaku akan berlanjut besok. Malam ini aku harus lanjut packing dan tidur dulu. I got an early flight.

Sebelum pamit, aku mau ucapin buat semua....selamat ber-Lebaran. Mohon maaf jika ada salah.


Wassalam,

Dee


Berkah Ramadhan 2010

Hari ini adalah tanggal 6 September 2010, hari yang gue tunggu sejak bulan lalu. Tanya kenapa?
Well, beberapa waktu yang lalu gue tanpa sengaja menemukan sebuah website dari Detikcom, yang gue baca linknya dari twit seorang teman. Web tersebut adalah http://aci.detik.com/ yaitu web dari sebuah program yang diadakan Detikcom dalam rangka ulang tahunnya, sebuah program bernama Aku Cinta Indonesia, yang memberikan kesempatan bagi mereka yang beruntung untuk berpetualang mengelilingi berbagai tempat wisata menarik di Indonesia yang belum banyak terjamah. Setelah menelusuri website tersebut, gue pun tiba-tiba tertarik untuk mendaftar, terutama ketika ingat sejak entah berapa tahun yang lalu gue selalu berniat untuk keliling Indonesia namun ide dan rencana tersebut ga pernah terealisasi akibat keterbatasan dana dan kesibukan yang teramat sangat.

Waktu berlalu dan gue ga terlalu memfollow up perkembangan program meski sesekali ketika kegiatan di kantor cukup longgar gue akan membuka website tersebut meski hanya sekedar membaca beberapa info spot wisata sambil membayangkan untuk menjadikan beberapa spot tersebut sebagai tujuan bulan madu sama (calon) suami [hyyaaaa...padahal tanggal pernikahan aja blom dapet! ngaco kan gue?]

Sampai akhirnya email itu gue terima, gue lolos masuk ke 1000 finalis! Dan akhirnya seterusnya ada beberapa tahap yang harus dilalui dan gue pun mengikuti dengan semangat dan serius. Sampai pada tahap ini hanya gue dan calon suami yang tahu soal terlibatnya gue dalam proses kegiatan program yang berlangsung ini. Dan kemudian tanpa diduga, gue pun lolos ke tahap 500 finalis. Alhamdulillah....

Maka sebagai ketentuan tahapan yang harus dilalui, pada hari Minggu tanggal 22 Agustus 2010 gue menuju ke kantor Detikcom untuk sesi foto+video dan wawancara finalis. Baru ketika menjelang berangkat inilah gue akhirnya memberi tahu keluarga bahwa gue ikut seleksi program ini. Alhamdulillah keluarga dan calon suami mendukung...dan berangkatlah gue dengan percaya diri. Hari itu entah kenapa gue, yang cukup dikenal sangat canggung dan gampang gugup, justru merasa tenang dan akhirnya bisa melalui semua proses hari itu dengan lancar. Dan akhirnya gue pun pulang dan melalui beberapa minggu berikutnya dengan tenang.

Sesuai informasi yang diberi Detikcom, hari ini adalah pengumuman nama-nama dan tim 66 orang petualang yang akan disebar ke 33 spot wisata sesuai dengan keahlian masing-masing finalis. Jujur gue ga sabar, meski entah kenapa gue masih saja sangat tenang. Dan setelah ACIdetik.com mengabarkan via twitternya bahwa para petualang sudah diumumkan, maka gue pun membuka websitenya.

Kebetulan pagi ini Jakarta dilanda hujan deras dan koneksi internet di rumah sempat ngadat. Karena itu gue pun sampai beberapa kali gagal membuka website ini, hal ini sempat membuat gue emosi dan makin ga sabar, hingga akhirnya gue memutuskan untuk mematikan wi-fi dan mencoba koneksi dengan modem baru yang gue beli di Mangga Dua kemarin bersama calon suami. Dan kemudian dengan segera halaman muka website ACIdetik.com terbuka.


Dengan sambil mengucap Bismillah gue mengklik link di daftar "petualang", namun sambil menunggu loading yang lama karena ga sabar gue pun meng-SMS calon suami dan memintanya untuk membukakan website itu untuk melihat pengumuman. Dan tak lama dia menjawab, "hehe. Ada, 257."

Sedikit ga percaya walopun uda bersyukur dan tepat ketika gue mau konfirm ulang lewat sms balasan, halaman website itu pun langsung terbuka. Dan tampaklah daftar ini...



Dan ga ketinggalan, halaman profil ini...


There's my name and my profile on that page!!!!Unbelieveable!! :D

Alhamdulillaaaaahhh......

Lega dan sangat sangat sangat speechless. Butuh waktu beberapa lama dulu sebelum gue akhirnya benar-benar sadar bahwa itu benar-benar profil gue yang gue lihat.

Beberapa menit yang lalu email dari Detikcom dan panitia ACIdetik.com gue terima untuk konfirmasi tim dan tujuan. Awalnya gue agak berharap akan tergabung di tim dengan tujuan Nusa Tenggara Barat, namun ternyata gue akan berangkat dalam tim Jawa Timur. Tetapi gue tetap antusias untuk berangkat, mengingat gue sebagai orang Jawa justru sangat ga mengenal Jawa Timur. hehehehe

Sekali lagi gue bersyukur dan ga sabar untuk berangkat dan memulai petualangan gue. Setidaknya ini adalah langkah awal gue untuk mengenal negara gue sendiri lebih mendalam dan sebisa mungkin belajar lebih banyak.

Untuk follower dan pembaca blog gue, gue mohon doa dan dukungannya. Insya Allah gue akan banyak bercerita mengenai petualangan gue bersama tim ACIdetik.com, baik melalui blog ini maupun dari berbagai social web profile gue.

Terima kasih sebelumnya :)


ps: untuk keterangan lebih lanjut silakan buka http://aci.detik.com/